Wabah Corona Virus Disease (Covid-19) yang telah menjangkiti dan memakan korban ribuan jiwa, hanyalah satu dari banyak wajah buram ketidakseimbangan ekosistem alam dan lingkungan. Penyakit ini disinyalir oleh Joko Pamungkas dari Fakultas Kedokteran IPB, berasal dari kelelawar yang merupakan pembawa penyakit terbanyak.
Kelelawar senyatanya merupakan reservoir beragam virus yang pada dirinya sama sekali tidak menyebabkan penyakit, karena sistem kekebalan bawaannya membuatnya toleran terhadap patogen. Demikian juga kemampuannya dalam mengatur suhu tubuh, sehingga infeksi patogen tidak mengakibatkan sakit.
Kelelawar dengan demikian memiliki kemampuan secara natural untuk menyerap berbagai virus berbahaya, dan ini merupakan proses alami untuk mengurangi patogen dalam kehidupan. Namun, karena keserakahan manusia dalam konsumsi, termasuk memakan kelelawar, maka itu sama halnya membuka kotak pandora yang sangat berbahaya.
Corona merupakan cermin kecil betapa bumi yang kita huni makin meradang. Ia menanggung beban berat yang dipikulkan manusia di atas pundaknya. Hari demi hari adalah rintihan bumi pertiwi, seolah tak kuasa isi perutnya terus diburai eksploitasi barang-barang tambang, seperti emas, perak, tembaga, bijih besi, minyak bumi, dan gas alam.
Kulit bumi terus dicabik alat-alat berat pengeruk pasir dan bebatuan. Sin saw dan kapak terus mencerabut rambutnya, berupa hutan belantara dan pepohonan yang dulu tampak mekar dan subur.
Pohon meranggas, semak belukar terbakar, lahan gambut berasap, gunung gundul, sungai mengering, tanah tandus, banjir bandang, dan sebagainya, kini telah menjadi berita harian. Bencana alam datang silih berganti. Masih tergiang di telinga jerit tangis berjuta-juta manusia menyaksikan kedahsyatan “dendam” alam yang tidak mampu lagi memendam derita karena ditindas, didedah, dipangkas, diinjak, diabaikan oleh makhluk bernama manusia.
Apa yang dapat dipikirkan dan dilakukan manusia agar eksplorasi sumber daya alam dan lingkungan tidak mendatangkan bencana?
***
Sumber daya alam dan lingkungan pada hakikatnya diciptakan Allah untuk manusia. Mereka dapat mengeksplorasinya untuk kebutuhan dan keinginannya. Ini bukanlah sesuatu yang buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itu tidak membahayakan kelangsungan (sustainability) hidup individu dan masyarakat umumnya, serta spesies lain yang juga mempunyai hak hidup.
Memenuhi kebutuhan dan keinginan harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsi atas sumber daya alam tidak melanggar “rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan” (hifzh al-bi’ah) dan menjamin keberlangsungan masa depan. Ini mensyaratkan adanya dimensi pertanggungjawaban manusia atas perilakunya kepada Allah. Dengan cara demikian, eksplorasi sumber daya alam dan lingkungan berkeadilan akan bersikap rasional dan mencari jalan yang benar-benar terbaik untuk memanfaatkan kekayaannya.
Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan dalam kerangka hifzh al-bi’ah tidak semata berorientasi keduniaan jangka pendek. Namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan eksploitasi yang tidak penting.
Perilaku ini harus berpijak pada prinsip-prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu. Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan, kemakmuran bumi, dan sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan.
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan perbuatannya untuk kepentingan masa depan, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat” (QS. Al-Hasyr 59: 18).
Sumberdaya yang berlimpah dapat disimpan dan pada saatnya dapat dialihkan untuk menambah produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan. Keyakinan pentingnya masa depan dan pertanggungjawaban Hari Akhir, dapat mencegah seseorang untuk memperkaya diri melalui sarana-sarana yang haram dan merugikan.
Al-Qur’an tidak menghendaki individu melupakan kepentingan mereka sendiri. Namun karena sumberdaya itu terbatas, sebagai khalifah manusia tidak layak bertindak ekstrem untuk menjadi homo economicus dan mengabaikan kelangsungan hidup ekologis dan kemanusiaan.
***
Hifzh al-bi’ah sebagai prinsip konservasi kehidupan tercermin dalam larangan bertindak fasad fi al-ardh dan al-`ayth fi al-ardh. Dua larangan itu antara lain bicara dalam dua konteks: pertama, ayat yang membincang tentang perlunya proteksi dan jaminan terhadap kehidupan kemanusiaan. “Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Al-Rum 30: 41).
Berbuat kerusakan di muka bumi itu banyak macamnya. Mulai dari perbuatan syirik, membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar, penguasa tiran yang suka merampas harta rakyatnya, dan seluruh tindakan yang membuat kehidupan di desa-desa dan kota-kota tidak nyaman dan aman bagi penghuninya.
Kedua, al-`ayth fi al-ardh mengemukakan konsep yang juga tak kurang komprehensifnya berkenaan dengan apakah manusia mempunyai otoritas tak terbatas dalam menangani kekayaan alam dan lingkungan atau tidak. Salah satu ayat Al-Qur’an mengecam kesewenang-wenangan kaum Syu’aib yang melahirkan dampak buruk, tidak hanya bagi pelaku namun juga keseluruhan sistem sosial-ekonomi.
“Dan Syu`aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS. Hud 11: 85-86).
Dalam ayat ini, larangan berbuat kerusakan mengandung dua pengertian. Ungkapan wa laa ta`thaw dapat dimaknai sebagai al-`ayth yang artinya segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan di muka bumi dan perbuatan tersebut dapat ditangkap secara inderawi atau de facto.
Dengan kata lain, meskipun belum ada aturan hukum yang secara eksplisit menyatakan suatu tindakan tertentu dapat dikategorikan dalam perbuatan merusak, namun jika pada kenyataannya menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan di muka bumi, maka tindakan tersebut harus dicegah atau dilarang. Lebih jauh dapat pula ditafsirkan bahwa suatu tindakan yang secara de jure memperoleh legitimasi, namun bila dari segi dampaknya de facto merugikan, maka tindakan itu juga harus dicegah atau dilarang.
***
Ungkapan itu juga dipahami sebagai al-`athii, yakni perbuatan-perbuatan yang jelas dapat dikategorikan dapat menyebabkan kerusakan dan secara de jure termasuk dalam tindakan pelanggaran atas aturan hukum yang ada.
Dari segi dampaknya, al-Thabathaba’i memerinci tindakan-tindakan tersebut menjadi tiga kategori: kejahatan, eksploitasi, dan penindasan baik secara ekonomi (maalii), atau secara kehormatan (jaahii), atau secara artifisial (`aradii).
Pentingnya menjaga sustainablity generasi masa depan, dan proteksi atas lingkungan manusia dan lingkungan alam, memperoleh penguatan Al-Qur’an berupa perjuangan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi. Seperti tersurat dalam ayat berikut: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud 11: 61).
Ini menegaskan bahwa materi penciptaan manusia (Adam) kali pertama berasal dari tanah. Manusia berikutnya tercipta dari air mani (nutfah) dengan seluruh prosesnya. Asal nutfah adalah darah dan darah berasal dari sari-sari makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tumbuh-tumbuhan dan hewan juga hidup dari tanah.
Karena itu, logis jika manusia pula yang bertanggungjawab memakmurkan bumi melalui berbagai macam aktivitas seperti pertanian, perkebunan, industri, dan pembangunan secara menyeluruh. Bumi pasti akan menerima semua tindakan pemakmuran yang bermanfaat baik bagi manusia itu sendiri maupun lingkungan alam umumnya.
Semua penjelasan di muka adalah fondasi bahwa perilaku eksplorasi sumberdaya alam dan lingkungan perlu mempertimbangkan prinsip menjaga lingkungan (hifzh al-bi’ah), yakni merawat lingkungan secara menyeluruh – baik lingkungan kemanusiaan dan lingkungan alam – demi memelihara kesinambungan (sustainability) generasi dan menyelamatkan masa depan melalui tindakan pemakmuran dan pencegahan kerusakan bumi, baik secara de facto maupun de jure.