Dua kategori keimanan: politeisme dan monoteisme. Jika dalam hati seseorang meyakini keberadaan Tuhan lebih dari satu, baik secara Dzat dan Sifat-sifat-nya, maka dia seorang politeis. Sebaliknya, jika dalam hati seseorang meyakini keberadaan Tuhan sebagai “Dzat Yang Tunggal,” maka dia seorang monoteis.
Di antara keyakinan politeisme dan monoteisme terselip satu keyakinan samar: henoteisme. Yaitu, suatu bentuk keimanan terhadap Tuhan Yang Tunggal, tetapi Sifat dan Dzat-Nya dipahami secara spatio-temporal.
Dapat dikatakan bahwa Sifat dan Dzat Tuhan sangat kondisional (Sidi Gazalba, 1996: 40-41.). Kita dapat mengambil ‘ibrah dari kisah Nabi Ibrahim as.
Nabi Ibrahim adalah keturunan bangsa Akkad. Bangsa ini memiliki silsilah keturunan dari suku-suku Arab yang eksodus secara besar-besaran (hijrah) ke kawasan tepi Laut Tengah pada Millenium Ketiga Sebelum Masehi (SM.).
Mereka kemudian berhasil menaklukkan bangsa Sumeria yang mendiami kawasan subur di antara sungai Furat (Euphrat) dan Dajlah (Tigris). Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan “Mesopotamia” (Yunani: “kawasan di antara dua sungai”).
Bangsa Akkad melestarikan tradisi bangsa Sumeria yang menyembah tuhan-tuhan pagan. Dewa terbesar bangsa Akkad adalah Shamash (Matahari). Kedudukan Shamash meliputi segala dewa bagi bangsa ini. Tetapi, yang cukup unik, setiap kota di Mesopotamia memiliki dewa-dewa kecil, selain Shamash. Keberadaan dewa-dewa kecil tersebut tidak mempengaruhi keyakinan bangsa Akkad kepada Shamash.
Nabi Ibrahim lahir di kota Ur, salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Mesopotamia. Penguasa kota Ur bernama Namrud (Nimrod) dengan gelar Naram-Sin.
Penduduk kota Ur, selain menyembah Shamash, juga memiliki dewa kecil bernama Sin (Dewi Bulan). Penduduk kota ini membangun sebuah kuil pemujaan untuk Sin yang dikenal sebagai Kuil Sin. Penduduk kota Sippar, tetangga kota Ur, menyembah Ishtar (Dewi Venus).
Adapun penduduk kota Nippur, tetangga kota Sippar, tidak memiliki dewa kecil. Mereka tetap menyembah dewa terbesar bangsa Akkad, yakni Shamash (Jerald F. Dirks, 2004: 24).
Sebelum menerima misi kenabian, Ibrahim kecil memiliki kebiasaan menyendiri, merenung, dan mencermati fenomena-fenomena alam. Kebiasaan tersebut telah mengantarkannya kepada “pengetahuan tertinggi” (hikmah) tentang hakekat.
Dia menemukan konsep “Tuhan Yang Tunggal,” “Maha Tinggi,” tetapi tak dapat diketahui, siapakah nama Tuhan itu. Pada waktu itu, Ibrahim belum menemukan sebuah nama untuk menyeru Tuhannya. Hanya dalam hatinya yang yakin bahwa Tuhan itu Tunggal dan Maha Tinggi.
Terdorong oleh nurani yang haus untuk mengenal Tuhan, Ibrahim sempat menerka-nerka. Sewaktu memperhatikan bintang-bintang (planet-planet) di malam hari, dia menemukan satu bintang yang memancarkan cahaya terang.
Bintang (planet) tersebut adalah Venus. Pada waktu itu Venus merupakan sesembahan paling populer bagi penduduk kota Sippar, tetangga kota Ur. Planet Venus yang indah disebut-sebut sebagai Dewi Ishtar.
Lazimnya fenomena alam, setelah bintang-bintang di langit semuanya lenyap seiring dengan datang fajar, maka nuraninya berontak. Dia menolak Dewi Ishtar sebagai tuhannya. “Aku tidak suka kepada yang terbenam!” (Qs. Al-An’am: 76).
Di waktu malam Bulan Purnama, Ibrahim juga sempat mengamat-amati keindahan dan keagungannya. Bulan adalah dewa utama penduduk kota Ur, tempat tinggal Ibrahim.
Dalam hatinya sempat terbetik keyakinan untuk mempertuhan Bulan Purnama. Seperti halnya keyakinan penduduk kota Ur, mereka menyembah Bulan yang dikenal sebagai Dewi Sin. Tetapi setelah sang fajar menyingsing, Bulan Purnama menjadi redup. Ibrahim kembali di ambang sangsi (Qs. Al-An’am: 77).
Pada waktu siang menjelang, dalam hatinya sempat terbersit untuk menganggap Matahari sebagai tuhan yang terbesar. Pada waktu itu, Matahari merupakan dewa utama penduduk Nippur dan juga bagi bangsa Akkad pada umumnya. Matahari disebut Dewa Shamash.
Ibrahim sempat menganggap Shamash sebagai tuhan yang sesungguhnya. Namun lazimnya fenomena alam, sewaktu senja menjemput, Matahari tenggelam dan hilanglah keagungannya. Ibrahim jelas tidak bisa menerima konsep tuhan yang tenggelam (Qs. Al-An’am: 78).
Apa yang terjadi pada diri Ibrahim sewaktu mencari Tuhannya merupakan suatu proses pergulatan keimanan yang telah melewati gejala henoteis. Dalam hatinya tetap percaya bahwa “Tuhan Maha Tunggal,” “Maha Tinggi,” “Maha Besar,” tetapi dia memahaminya secara spatio-temporal.
Setelah proses henoteis tersebut, Ibrahim mendapat ilham (wahyu) bahwa Tuhan, pada hakekatnya, meliputi segala sesuatu. Tuhan adalah Pencipta langit dan di bumi (Qs. Al-An’am: 79). Secara tidak langsung wahyu tersebut telah menepis konsep ketuhanan Ishtar, Shamash, dan Sin, pada waktu itu.
Dalam doktrin teologi Islam (tauhid), henoteisme merupakan “kepercayaan terlarang.” Sekalipun banyak teori yang mengatakan bahwa Henoteisme merupakan jenis monoteisme, tetapi jelas terselubung. Henoteisme tidak bisa murni disebut sebagai monoteisme.
Pada hakekatnya, doktrin henoteisme memahami hakekat Dzat dan Sifat Tuhan secara kondisional. Seolah-olah kekuasaan Tuhan hanya mewakili kondisi-kondisi tertentu saja. Padahal, Tuhan Yang Maha Esa adalah yang meliputi segala sesuatu. Meminjam istilah Rodney Strak (2003: 45), doktrin monoteisme agama-agama samawi bersifat “absolut’ (monoteisme absolut).
Tentu saja teologi Islam (tauhid) sebagai doktrin “monoteisme samawi paripurna” menolak dengan tegas konsep henoteisme. Konsep ini hanya mengaburkan otentisitas ajaran langit yang hanif. Seperti dalam kisah Nabi Ibrahim, ia pun kemudian meninggalkan henoteisme untuk kemudian diselamatkan oleh Tuhannya menjadi seorang yang hanif.