Review

Non-Muslim Bisa Masuk Surga (1): Siapa Mereka?

6 Mins read

Saya mengenal amat baik Prof. Muhamad Ali, Penulis buku ini. Beliau teman sekelas di MAN-PK (Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus) Darussalam Ciamis, Angkatan III (1989-1992). Kami sekolah sambil mondok, maka kami bukan cuma sekelas, tapi bahkan seasrama. Waktu kelas 1 di Asrama Asy-Syafi`i, kelas 2 di Asrama Sibawaih, dan saat kelas 3 di Asrama Ibnu Taimiyah. Waktu kelas 2 dan kelas 3, saya bahkan sekamar sama beliau. Lupa nama kamarnya saat kelas 2. Waktu kelas 3 di Kamar Al-Manfaluthi, kalau tidak salah.

Prof Ali selalu juara 1 sejak semester I kelas 1 hingga semsester VI kelas 3. Sedang saya, di semester I kelas 1 ”nyungsep” di ranking 18 dari 40 siswa yang cowok semua itu. Gak jelek-jelek amat sih, meski juga masih jauh untuk dibilang bagus. Ibarat Bola Eropa, ranking segitu bahkan tidak cukup untuk mengantar saya ikut berlaga di “Laga Malam Jumat”. Nasib saya kala itu gak jauh-jauh dari Klub Liga Inggris besutan Ruben Amorim dukungan saya: Emyu! Saya siap di-bully soal ini…!

***

Judul buku “Non-Muslim Bisa Masuk Surga” ini sama persis dengan salah-satu judul tulisan di Bab 04. Bab 04 sendiri berjudul: Menebar Damai dan Mencintai Sesama. Bab 04 terdiri dari tujuh tulisan: 1) Non-Muslim Bisa Masuk Surga: Siapa Mereka? 2) Mengucap Salam kepada Non-Muslim: Aqidah atau Mu’amalah? 3) Mengucap Salam kepada Non-Muslim: Pandangan Al-Qu’an atau Ulama? 4) Mengucap Salam kepada Non-Muslim: Apakah Bid’ah menurut Hadis? 5) Kang Jalal dan Pentingnya Spiritualitas dan Akhlak, 6) Video Viral dari Lumajang dan Masalah Intoleransi Beragama, dan 7) Nikah Beda Agama: Memahami Pernikahan Muslim dan Non-Muslim.

Seperti terlihat, judul buku sama dengan judul tulisan pertama pada Bab 04. Artinya: Pertama, buku ini tidak melulu bicara tentang kedudukan atau nasib Non-Muslim kelak di akhirat; adakah kemungkinan mereka bisa masuk surga atau tidak. Kedua, kuat dugaan saya, judul buku ”sengaja” diambil dari judul tulisan pertama pada Bab 04, yakni ”Non-Muslim Bisa Masuk Surga”, lantaran judul tersebut dinilai paling menarik dan memantik kepenasaran orang untuk membaca. Ada sentuhan ”marketing” di sini. Lumrah belaka dalam dunia perbukuan. Ketiga, meski demikian, semua tulisan lainnya, baik yang terdapat pada Bab 04, maupun pada Bab-bab lainnya tetap relevan atau bahkan beririsan cukup tebal dengan topik: Apakah Non-Muslim bisa masuk surga.

Untuk memberi gambaran umum relevansi atau keterkaitan seluruh tulisan dalam buku ini dengan judul ”Non-Muslim Bisa Masuk Surga”, tak salah ditunjukkan judul bab demi bab dan judul-judul tulisan yang ada dalam bab terkait. Bab 01: Mengkaji Islam. Bab ini terdiri dari 10 tulisan: 1) Mengkaji Apa itu Islam, 2) Islam Kaffah yang Bagaimana? 3) Banyak Jalan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”, 4) Perbedaan Memahami Allah dalam Islam, 5) Konstruksi Kufr, Syirk, Bid’ah, dan Semacamnya, 6) Tiga Arah Studi Islam di Perguruan Tinggi, 7) Studi dan Pengajaran Islam di Barat, 8)Warisan Intelektual Montgomery Watt dan Clifford Geertz, 9) Biografi Nabi Muhammad Tidak Tunggal dan Tidak Selesai, dan 10) Asal-usul “Salat” dalam Islam (Refleksi Isra’ Miraj).

Baca Juga  Cak Nur: Pernikahan Muslim dan Non-Muslim Itu Boleh Saja!

***

Bab 02: Mengkaji Agama-Agama. Tulisan yang ada di Bab ini: 1) Apa itu Agama dan Mengapa Ada Banyak Agama? 2) Kesetaraan Agama-agama, 3) Mengapa Kita Perlu Memperkuat Literasi Keagamaan Kita? 4) Memahami Keyakinan Agama, 5) Apa itu Kitab Suci? 6) Memaknai Les Rites de Passage Avatar dan Desakralisasi Kisah Pengorbanan Ibrahim dan Spiritualitas Ramah Hewan, 7) Pawang Hujan: Antara Magi, Agama, dan Sains, 8)Mengajar tentang Agama, 9) Rumah Agama di Antara Rumah-rumah Lain, 10) Maria, Yesus, dan Hari Natal dalam Pandangan al-Qur’an.

Bab 03: Memahami Agama dan Menghormati Umat Lain. Tulisan yang ada di bab ini: 1) Memahami Yang Lain, 2) Mengapa Kita Muslim, Mereka Bukan? 3) Ceramah Agama dan Pentingnya Pemahaman Antariman, 4) Khotbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian, 5) Apakah Semua Umat Hindu Musyrikun? (Bagian 1), 6) Apakah Semua Umat Hindu Musyrikun? (Bagian 2-Habis), 7) Berdialog Agama di AS dan Indonesia dengan Para Imam Masjid, 8)Islam Amerika dan Indonesia: Berkahnya Dialog dengan Para Imam, Tokoh, dan Rektor dari Indonesia, dan 9) Toa Masjid dan Hal-hal yang Tak Terpikirkan.

Bab 04, sudah disebutkan di alinea kedua tulisan ini. Bab 05: Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama. Tulisan yang ada di bab ini: 1) Pluralisme Kovenantal, 2) Negara antara “Syariatisasi Indonesia” dan “Indonesianisasi Syariah”, 3) Internasionalisasi “Moderasi Islam” Indonesia, 4) Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama, 5) Asal-Usul dan Masa Depan Kementerian Agama, 6) Amerika Serikat dan Kebebasan Beragama, 7) Mengecam Kebijakan Trump yang Islamofobik, 8)Rasisme dan Anti-Rasisme di Amerika Serikat, 9) Presiden Macron Melawan “Separatisme Islamis”, bukan Melawan Islam, 10) Sejarah Hubungan Israel-Arab Palestina yang Kompleks, dan 11) Hagia Sophia dan Dialog Peradaban Kristen-Islam.

Bab 06: Bijak Beragama di Era Pendemi. Tulisan yang ada di bab ini: 1) Agamawan dan Penguasa yang Salah Menyikapi Wabah, 2) Ulama dan Pandemi Covid-19: Mengapa Dominan Fikih daripada Sains, 3) Krisis IImu Pengetahuan Umat dan Jalan Keluar, 4) Mendorong Siswa-Siswi SD Menjadi |Imuwan, 5) Menjadi Santri, Intelektual, dan Aktivis, 6) Guru Besar Muda-muda: Tantangan dan Harapan, 7) Ramadan di Amerika di Masa Pandemi, 8)Lebaran bagi Muslim dan Non-Muslim, dan 9) Mengembangkan Religiusitas Ihsan dalam Masyarakat Majemuk di Era Disrupsi,

***

Sekarang ke topik utama:  Non-Muslim Bisa Masuk Surga: Siapa Mereka? Prof. Muhamad Ali memulai pembahasan dengan pertanyaan, ”Apa pendapat para ulama dan cendekiawan dulu dan sekarang tentang keselamatan penganut agama-agama selain syariat Nabi Muhammad Saw? Apakah “non-Muslim” bisa selamat dan masuk surga?” Ini masalah teologis yang memiliki dampak pada sikap seorang Muslim terhadap non-Muslim dan pergaulan di masyarakat majemuk, nyata ataupun virtual.

Baca Juga  Novel Blumbangan, Pengingat Kenangan tentang Orde Baru

Mayoritas ulama dan awam berpendapat bahwa hanya Muslim pengikut Nabi Muhammad yang akan selamat dan masuk surga. Lalu bagaimana dengan ayat 62 Surat al-Baqarah ini: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiun, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan berbuat baik, maka mereka akan mendapat ganjaran dari Allah, dan tidak perlu sedih dan khawatir”? Mereka umumnya menafsirkan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabiun yang disebut ayat ini, hanya mereka yang hidup sebelum datangnya Nabi Muhammad.

Terhadap pendapat ini, lanjut Prof. Ali, dapat diajukan beberapa pertanyaan, antara lain: ”Kalau demikian, orang-orang beriman yang disebut di awal ayat ini hanya orang-orang beriman pada masa Nabi Muhammad saja? Apa alasan ayat ini tidak mencakup orang-orang tulus beriman kepada Tuhan dan berbuat baik setelah Nabi Muhammad?”

Prof. Ali kemudian mencatat beberapa nama yang pendapatnya bersifat inklusif seputar “peluang” Non-Muslim untuk masuk surga ini. Di antaranya: Mohammad Hassan Khalil dalam buku Islam and the Fate of Others: The Salvation Question (Oxford, 2012), Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad Rasyid Ridha. Mereka membuka ruang pemahaman bagi adanya pintu-pintu keselamatan bagi setiap manusia yang tulus dan berbuat baik kapan dan di mana pun. Bagi mereka, risalah Muhammad merupakan konfirmasi ajaran-ajaran dasar dan benar dari para pendahulunya, tapi juga membuka pintu kasih sayang (rahmat) Allah bagi siapa saja sampai akhir zaman.

Dalam hal ini, bagi Al-Ghazali, prinsip utama yang harus dikembangkan adalah kasih sayang Tuhan, sedangkan kutukan Tuhan itu pengecualian. Rahmat Allah lebih luas untuk semua ciptaan-Nya. Al-Ghazali membuat kriteria “non-Muslim” dalam beberapa kategori: Pertama, orang yang tidak pernah mendengar Nabi Muhammad. Kedua, orang kafir yang menolak Nabi Muhammad setelah mengetahui kebenaran dan kebaikan ajarannya. Ketiga, setiap pencari kebenaran yang tulus.

Menurut Al-Ghazali, non-Muslim kategori pertama dan ketiga dimaafkan Tuhan dan rahmat-Nya mencakup mereka. Masih menurut Al-Ghazali, konversi ke Islam bukan satu-satunya jalan keselamatan. Siapa saja yang tulus mencari kebenaran bisa mendapat rahmat Tuhan. Al-Ghazali membuka pintu harapan keselamatan bagi non-monoteis tertentu, seperti bangsa Turki yang berada di luar jangkauan kenabian Muhammad.

Masih menurut Al-Ghazali, kasih sayang dan hukuman Tuhan seperti orangtua menghukum anaknya. Tuhan menghukum bukan semata-mata menghukum. Hukuman bersifat pendidikan dan tidak berarti Tuhan tidak sayang sama ciptaan-Nya. Al-Ghazali mengutip hadis qudsi yang menyebut Tuhan berfirman, “Kasih sayang-Ku melampaui marah-Ku.” Bagi Al-Ghazali, sebagian besar manusia pada akhirnya akan selamat dan bahagia.

Baca Juga  Kerbau, Saksi Bisu Kisah Cinta Saidjah-Adinda dalam Max Havelaar

***

Dari al-Ghazali ke Ibnu Arabi (w. 1240). Yang disebut terakhir meyakini bahwa banyak jalan menuju Tuhan Pencipta yang sama, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Mulia. Dalam membangun argumennya, Ibnu Arabi antara lain mengutip QS al-Hadid: 5 dan al-Ma`idah: 18. Namun, meski banyak jalan menuju-Nya, Ibnu Arabi menyebut jalan Nabi Muhammad adalah laksana cahaya matahari, sedangkan jalan-jalan lain laksana cahaya bintang-bintang. Ibnu Arabi menafsirkan Islam sebagai sikap ketundukan kepada Tuhan, dan bentuk-bentuk ketundukan ini bermacam-macam.

Ada banyak surga, sebagiannya untuk pengikut Nabi Muhammad yang tunduk pada Tuhan, sebagian lain untuk mereka yang juga tunduk pada Tuhan dengan mengikuti jalan-jalan lain. Neraka, kata Ibnu Arabi, adalah tempat bagi mereka yang sombong (mutakabbirun), musyrikun, dan munafiqun. Khususnya mereka yang pernah mendapat nabi-nabi pengingat dan penegur. Tidak ada hukuman bagi manusia yang tidak pernah mendapat utusan Tuhan.

Dari Ibnu Arabi langsung ke sarjana Muslim di era moderen, Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935). Bagi Ridha, keselamatan melampaui afiliasi dan identitas agama. Tuhan, kata Ridha, memaafkan manusia yang tulus mencari kebenaran, meskipun mereka tidak sampai mengikuti cara Nabi Muhammad secara khusus.

Dari Muhammad Rasyid Ridha bergeser ke Yusuf al-Qaradhawi. Ketika menafsirkan QS al-Isra: 15 dan al-Nisa`: 115, al-Qaradhawi menggariskan bahwa meski prinsip umum Islam adalah syarat keselamatan, Tuhan memaafkan mereka yang tidak memahami. Tuhan juga memaafkan mereka yang tidak masuk agama Nabi Muhammad karena berbagai halangan, bukan karena keangkuhan. Manusia dihukum Tuhan, tegas al-Qaradhawi, lebih karena kesombongannya, bukan sekadar keyakinannya.

***

Di barisan inklusif-pluralis ini, masih ada Farid Esack, Abdulaziz Sachedina, Mahmoud Ayoub, dan Fazlur Rahman. Rahman misalnya, menekankan konsep takwa sebagai pembeda umat manusia di mata Tuhan, dan prinsip takwa bersifat universal, tidak terkait langsung dengan afiliasi keagamaan, bangsa, suku, gender, dan sebagainya. Menurut Rahman, yang al-Qur’an kritik adalah eksklusivisme sebagian Yahudi dan sebagian Nasrani yang mengklaim keselamatan hanya untuk mereka. Al-Qur’ an tidak mengkritik bahwa mereka tidak akan selamat.

Dalam amatan Prof. Ali, ulama dan cendekiawan yang dikutip sekilas di atas berbeda-beda dalam memahami Islam, namun secara umum menekankan kasih sayang Tuhan yang membuka jalan-jalan keselamatan yang luas dan lapang bagi semua manusia dan bahkan alam semesta ciptaan-Nya.

Bagi Prof. Ali, al-Qur’an dan Sunnah menitikberatkan kasih sayang (Rahman dan Rahim) Tuhan sebagai Nama dan Sifat fundamental-Nya. Memang diakui ada ambiguitas dalam ayat-ayat al-Qur’an menyangkut persoalan yang sedang kita bincang ini. Tapi, seraya mengutip Mohammad Hassan Khalil, Prof. Ali percaya ambiguitas itu dapat membuat kita bersikap tawaddu’ dalam beragama dan membuka harapan kasih sayang Tuhan bagi sebanyak-banyaknya ciptaan-Nya.

Editor: Soleh

Abad Badruzaman
3 posts

About author
Pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Review

Melacak Genealogi Intelektual Ulama Betawi

3 Mins read
Jakarta sebagai kota metropolitan dalam sejarah perkembangannya banyak dipengaruhi oleh para ulama Betawi. Para ulama Betawi ini selain berjuangan melawan kolonial penjajah,…
Review

Awe-Inspiring Us: Ketika Cinta dan Cita Berjalan Bergandengan

3 Mins read
Apabila kamu masih ragu dalam menjawab sebagian atau seluruh pertanyaan tentang masa depan, takut membuat pilihan yang salah, atau khawatir kebahagiaan tak…
Review

Tasbih di Ujung Sajadah

5 Mins read
Perkembangan keilmuan Islam utamanya bidang Tafsir sangat penting untuk menggali makna Al-Qur’an. Hasil penafsiran ini tentu harus merespon perkembangan dunia saat ini….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *