Perspektif

Pendidikan yang Diperdagangkan

4 Mins read

Perdagangan Pendidikan

Berbagai komponen yang membangun pendidikan itu sendiri seperti tenaga pendidik, guru, dosen, kepala sekolah, bahan ajar, modul, dan sebagainya dapat dijual kepada konsumen dan dapat pula dibeli dari produsen dalam maupun luar negeri. Bukan itu saja, bahkan manajemen persekolahan atau manajemen pengelolaan kampus pun dapat diwaralabakan.

Mulai dari kedudukan sebagai kepala sekolah yang dapat dibeli, buku-buku yang diwajibkan dibeli dengan alasan sebagai referensi tanpa melihat kondisi ekonomi seorang pelajar, sampai membeli dosen yang dianggap bermutu untuk memajukan pendidikan di suatu kampus.

Rasanya, sekarang ini pendidikan beserta komponen-komponennya telah menjadi sebuah komoditas atau jasa model baru yang dapat diperjual belikan oleh siapapun dan dimanapun. Sehingga pendidikan bukan lagi menyadarkan. Tetapi memberikan kesan bahwa sebuah lembaga pendidikan adalah tempat produksi.

Munculnya istilah perdagangan pendidikan secara formal sebenarnya bermula dari WTO, World Trade Organization suatu organisasi perdagangan internasional yang membuat konvensi tentang perdagangan barang dan perdagangan jasa. Salah satu item yang diatur oleh organisasi ini ialah tentang perdagangan pendidikan yang melegitimasi. Sehingga hal ini dianggap sebagai perbuatan legal dan seakan-akan tidak mempunyai dampak yang buruk.

Melalui GATT-WTO sebagai salah satu skema penghisapannya yang mengikat bagi seluruh negara anggotanya dalam aspek perdagangan, telah menjalankan skema liberalisasi-nya. Tidak hanya dalam aspek perdagangan, namun juga menarik sejumlah sektor publik kedalam sektor jasa. Sehingga dapat diperdagangkan dan memberikan keuntungan yang melimpah.

Di bawah kesepakatan General Agreement on Tariffs and Service (GATS-WTO), WTO telah meletakkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang diperjualbelikan. Berdampingan dengan kesehatan dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat menjanjikan keuntungan yang melimpah.

Baca Juga  A Tapestry Cut By A Jigsaw: Sekadar Empati Kepada Bangsa Kurdi

Sejak tahun 1980an, liberalisasi pendidikan telah memberikan kontribusi yang tinggi bagi pendapatan domestik bruto (PDB) negara-negara maju. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105).

***

Pada tahun 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris, pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negaranya. Sementara, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan Australia telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993.

Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut berjuang keras meliberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Secara khusus, pemerintah Indonesia sebagai negara anggota pendiri WTO kemudian dengan segera melakukan ratifikasi atas seluruh kebijakan dalam WTO. Dengan menerbitkan Undang-Undang No.7 Tahun 1994, tanggal 2 Nopember 1994, tentang pengesahan “Agreement Establishing the World Trade Organization”.

Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional. Yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Orgnization/WTO). Di mana, pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas barang dagangan. Dengan demikian, para investor bisa menanamkan modalnya di sektor pendidikan. Tterutama untuk pendidikan tinggi.

Kesepakatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya berbagai kebijakan undang-undang di sektor pendidikan yang jauh dari kebutuhan rakyat Indonesia, seperti  UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2010. 

Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) pada tanggal 13 Juli 2012 oleh DPR-RI serta penerapan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT), semakin melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan berdampak pada semakin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia.

Baca Juga  Islam itu Rasional (3): Akal Punya Porsi Besar dalam Agama!

Tentu itu tidak sesuai dengan amanah undang-undang dasar 1945 (Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945). Adanya perdagangan pendidikan memberikan dampak yang besar bagi sitem pendidikan di Indonesia. Biaya pendidikan yang mahal sehingga tidak semua masyarakat atau rakyat Indonesia dapat mengakses pendidikan.

***

Akibatnya banyak anak dari masyarakat yang perekonomian keluarganya menengah kebawah, tidak mampu menikmati pendidikan sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar 1945. Tentu problem ini mempunyai efek jangka panjang di kalangan masyarakat, ketika banyak masyarakat yang tidak bisa menjangkau mahalnya biaya pendidikan, akan memberikan pengaruh pada pandangan masyarakat terhadap pendidikan.

Yaitu bahwa pendidikan hanyalah milik kaum elit. Sehingga paradigma itu berkembang secara meluas di kalangan masyarakat pinggiran. Dampaknya lebih jauhnya yaitu minat untuk memperoleh pendidikan semakin punah. Seakan-akan bukan haknya lagi.

Banyak masyarakat pinggiran atau terbelakang menganggap bahwa pendidikan bagi anak-anaknya bukanlah penentu masadepannya. Mereka menganggap bahwa menjadi kuli, pentani, nelayan, dan sebagainya adalah cita-cita paling baik.

Sehingga ketika pekerjaannya dibatasi atau dirampas oleh pemerintah, petani, misalkan, dengan adanya pembebasan lahan, maka mereka semua akan kehilangan mata pencahariannya. Hingga akhirnya, akan menambah tingkat pengangguran di Indonesia.

Kalau kita kembalikan kepada hakikat pendidikan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya negara bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa memanandang suku, ras, agama, dan kedudukan.

Pendidikan adalah upaya kerjasama dari masyarakat dan pihak pemerintah untuk menjamin keberlangsungan hidup warga serta generasi penerusnya. Sehingga mereka mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa terkait dengan konteks budaya bangasa, kehidupan bernegara, maupun hubungan internasionalnya.

Yang terjadi hari ini, pendidikan menjadi komoditas baru untuk diperjualbelikan, yang menjadi ladang para kapitalis dan kaum elit untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampak yang akal timbul di kemudian.

Baca Juga  Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Masa Depan

Dari sekian banyak sumber daya alam yang dikuras habis di Indonesia, rupanya belum cukup untuk memuaskan nafsu para kapitalis. Ketika kita melihat lebih dalam, sistem yang ada pada hari ini merupakan sebuah penjajahan yang bersifat abstrak. Karena tidak melakukan baku hantam senjata, melainkan segala hak-hak rakyat Indonesia dirampas.

***

Bahkan kebodohan sudah seperti sebuah virus atau racun yang diberikan oleh kaum kapitalis dan kaum elit kepada rakyat kecil. Agar selamanya kepentingan mereka tidak terganggu. Ketika rakyat bodoh, maka akan semakin gampang dibodoh-bodohi.

Ironisnya, pemerintah membiarkan hal tersebut. Mereka naif terhadap segala kondisi yang ada. Bahkan memberikan lampu hijau dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan yang melanggengkan setiap pemodal untuk mengomersialisasikan pendidikan di Indonesia.

Dan hari ini, komersialisasi pendidikan sudah mendarah daging di Indonesia karena sudah dianggap sebagai hal biasa. Sehingga berkembang segala bentuk kesewenang-wenangan dalam sistem belajar mengajar. Misalkan banyak sekali tenaga pengajar dan birokrasi memanfaatkan jabatannya untuk mencari keuntungan.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *