Perspektif

Perempuan di antara Timbunan Sampah

3 Mins read

Prestasi Indonesia sebagai Top 5 negara penyumbang sampah terbesar di dunia pada tahun 2020 memang mengharuskan kita untuk terus menerus membahas isu sampah demi membangun kesadaran dan mencari solusi terbaik yang bisa dilakukan bersama-sama.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022, dari total 21,1 juta ton produksi sampah nasional, masih terdapat 7,2 juta ton (34,29%) sampah yang belum bisa terkelola dengan baik. Ini tanda kalau pengelolaan sampah di negeri ini belum cukup optimal.

Pada tahun-tahun belakangan, masalah ini semakin parah dengan adanya fakta bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang selama ini menjadi hilir pembuangan sampah sudah mulai tidak berdaya menampung semua beban sampah itu. TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat, misalnya, seperti disebut oleh Indraswari (2023) dalam artikel Kompas, kini sudah menampung sebanyak 15,4 juta m3 sampah dari yang daya tampung aslinya hanya 1,9 juta m3. Begitupun sampah yang dibuang ke TPA Piyungan, Bantul juga sudah jauh melebihi kapasitas penampungan.

Kita patut bertanya-tanya sebenarnya, dari manakah sumber sampah-sampah itu? Indraswari menyebutkan, sumber paling banyak berasal dari limbah rumah tangga (35,42%), disusul oleh pasar (31,12%), perniagaan (15,61%), fasilitas publik (4,9%), dan lain-lain (12,91%). Dari sini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya potensi paling besar untuk mengurangi produksi sampah adalah pengurangan limbah sampah di rumah tangga.

Problem Perempuan Belum Diproritaskan

Beberapa bulan lalu, saat harus meliput isu perubahan iklim untuk Majalah Suara ‘Aisyiyah, saya bertemu dengan seorang perempuan aktivis lingkungan dari Greenfaith. Ia akrab disapa Mbak Nana Firman, Senior Ambassador di lembaga tersebut. Salah satu keluhan yang diutarakannya, dan saya kutip juga di majalah bulan Desember tahun lalu itu, adalah, “Yang paling concern terhadap keluarga itu umumnya perempuan. Sedangkan, biasanya mereka itu yang paling kurang teredukasi soal perubahan iklim.”

Baca Juga  Sinetron Religi: antara Haus Rating dan Dakwah yang Terburu Nafsu

Menyimak kembali ujaran Mbak Nana, saya jadi berpikir. Tidak hanya dalam isu perubahan iklim, dalam berbagai isu di masyarakat, termasuk dalam isu lingkungan secara umum serta masalah pengelolaan sampah pun, perspektif dan keterlibatan perempuan masih belum diprioritaskan. Padahal, the power of “emak-emak” is real. Peran para perempuan begitu sentral dalam keluarga atau rumah tangga, yang merupakan unit terkecil sebagai target utama dalam berbagai program maupun kebijakan. Apalagi, sejauh ini, perempuan cenderung berperan lebih banyak dalam lingkup domestik.

Selaras dengan penjelasan Kepala International Environmental Technology Centre (IETC) di United Nations Environment Programme (UNEP), Takehiro Nakamura, pada Oktober 2022, yang dilampirkan di situs web UNEP, menyoal ketidakadilan gender dalam pengelolaan sampah. Nakamura menyampaikan dalam bahasa Inggris, “Selagi pengelolaan sampah mulai di modernisasi dan beralih ke berbagai teknologi baru yang kemungkinan membutuhkan banyak edukasi dan pelatihan canggih, perempuan menjadi sangat penting untuk dilibatkan dalam prosesnya (diterjemahkan penulis).”

Peran perempuan dalam penyelesaian masalah sampah tidak bisa lagi dikesampingkan. Meski begitu, Nakamura juga menegaskan, bahwa perwujudan keadilan gender ini mesti melibatkan laki-laki maupun perempuan. “Pada satu sisi, dimana perempuan bisa mengambil peran kepemimpinan dalam meminimalisasi dan memisahkan sampah rumah tangga, laki-laki pun mendapat peran besar bahkan setara dalam berbagi tanggung jawab rumah tangga untuk mengelola sampah domestik. Strategi ini dapat membantu untuk mengurangi sampah secara keseluruhan, serta untuk melakukan daur ulang dan membuat kompos (diterjemahkan penulis).”

Hari Zero Waste Internasional dan Keadilan Gender

Pada momen Hari Zero Waste Internasional ini, spirit untuk turut mengambil andil dalam penyelesaian isu sampah tentunya perlu dipupuk kembali, selagi juga merenungkan tentang keadilan gender yang perlu menjadi kekuatan dalam pendekatan yang diambil. Organisasi Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA), organisasi otonom Muhammadiyah yang digerakkan oleh para perempuan muda, juga punya beberapa cerita-cerita gerakan inisiasi membasmi limbah sampah yang mengotori lingkungan.

Baca Juga  Ide Menggagas Komite Pers Muhammadiyah

Sebut saja gerakan Merdeka Sampah yang diinisiasi rekan-rekan Pimpinan Wilayah NA Jawa Timur. Mereka berkomitmen mewujudkan kegiatan-kegiatan NA yang bebas sampah, mulai dari pembiasaan membawa botol minum dari rumah, penyediaan trashbag tidak sekali pakai untuk proses pemilahan sampah, serta pengadaan diskusi maupun workshop untuk mendukung pengetahuan para perempuan terkait isu sampah. Mereka juga melakukan edukasi ke beberapa sekolah PAUD yang menjadi jejaringnya.

Inisiasi ini bahkan dilirik oleh lembaga Ashoka dan Kok Bisa sehingga mereka lolos sebagai salah satu dari 29 finalis Gaharu Bumi Innovation Challenge yang diikuti oleh ratusan inisiator lingkungan dari seluruh tanah air. Saya bersinggungan dengan cerita mereka saat melakukan liputan pada kegiatan tersebut di Jakarta, pada awal Maret lalu. Salah satu keunikan yang diusung oleh gerakan Merdeka Sampah ini adalah adanya gagasan bahwa upaya penyelesaian masalah lingkungan di masyarakat sangat berpilin erat dengan semangat beragama sebagai organisasi muslim, yang diwujudkan lewat berbagai kegiatan Nasyiah.

***

Inisiasi lain pun dilakukan oleh Pimpinan Cabang NA Ngaglik, Sleman, yang memiliki kegiatan bertajuk GSS alias Gerakan Shadaqah Sampah. Kegiatan ini berkolaborasi dengan Pimpinan Cabang Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah setempat. Terdapat kegiatan Pasar Ceria, dimana anggota masyarakat dapat menukarkan sampah-sampah yang sudah mereka pilah dengan berbagai jenis sayuran yang disediakan oleh panitia. Sampah-sampah tersebut kemudian dijual ke pengepul untuk selanjutnya dana hasil penjualannya akan disalurkan melalui berbagai program sosial kemasyarakatan.

Tentunya, terdapat berbagai inisiasi lain yang dilakukan oleh para perempuan di seluruh tanah air. Gerakan-gerakan perempuan yang peduli iklim dan lingkungan sangat masif akhir-akhir ini. Sehingga isu iklim dan lingkungan tidak hanya kaum laki-laki. Harapannya, cerita-cerita itu dapat menjadi inspirasi bagi kita semua.

Baca Juga  Perempuan dalam Dialog Antaragama dan Perdamaian

Meskipun begitu, saya juga memandang bahwa ke depannya inisiasi-inisiasi yang perlu lahir tidaklah semata diarahkan untuk memilah dan mengolah sampah yang diproduksi sebagai bagian dari upaya kuratif, tetapi juga perlu upaya-upaya preventif seperti mendorong kesadaran melalui edukasi dan kampanye untuk mengurangi budaya konsumtif―yang sebenarnya menjadi persoalan mendasar umat manusia. Upaya penyadaran ini tentu akan begitu kuat jika disokong oleh pelibatan para perempuan, bukan sebagai partisipan pasif, melainkan para penggeraknya.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
Perempuan yang berusaha memegang kata-katanya. Sastra Inggris UGM 2017. Duta Museum Dewantara Kirti Griya DIY 2020.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *