Riset

Perkembangan Ide Monoteisme Agama Ibrahim

4 Mins read

Agama Ibrahim

Keimanan yang bersemayam di hati manusia bukanlah sesuatu yang sifatnya taken for granted. Secara psikologis, kejiwaan manusia mengalami dinamika yang fluktuatif. Sedangkan secara fisik, manusia hidup dalam ruang kebudayaan tertentu yang juga tidak kalah kompleksnya.

Sifat iman dalam konteks sejarah dan dinamika budaya manusia, seperti yang dilukiskan oleh Imam Al-Ghazali: “al-iman yazid wa yanqush” (keimanan kadang bertambah dan kadang berkurang). Oleh karena itu, kita semua diperintahkan supaya istiqamah (konsisten) manakala sudah mendapatkan anugrah keimanan dari Allah SWT.

Kisah Nabi Ibrahim sebagai Bapak Monoteisme Dunia menunjukkan bahwa keimanan seseorang itu berproses. Dengan demikian, konstruksi keimanan dalam ajaran Islam warisan dari para nabi terdahulu mengalami dinamika, baik pasang maupun surut, sebagaimana watak dari dimensi sejarah yang profan.

Ide Monoteisme

Nabi Ibrahim dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang menganut kepercayaan Pagan. Tetapi, dia sendiri menolak konsep kepercayaan yang demikian. Sejak kecil, Ibrahim memiliki kebiasaan yang unik. Dia selalu merenung di tempat-tempat yang sunyi. Dia sedang mencari hakekat tuhan yang menurut keyakinannya tidak mungkin dapat diserupakan dengan benda-benda. Tuhan, baginya, harus Maha Tinggi, Maha Besar, dan berkuasa di atas segala sesuatu.

Kebiasaan Ibrahim menyendiri, merenung, dan mencermati fenomena alam, telah mengantarkannya kepada pengetahuan tertinggi tentang hakekat (hikmah). Misalnya, sewaktu memperhatikan bintang-bintang (planet-planet) di malam hari, dia sempat mengamati Planet Venus.

Pada masa kekuasaan Naram-Sin (di kota Ur), Planet Venus merupakan salah satu obyek pemujaan paling populer bagi penduduk kota Sippar, tetangga kota Ur. Dewi Venus dinamakan dengan Dewi Ishtar. Planet ini menjadi identitas unik yang oleh sebagian penduduk kota Sippar dijadikan sebagai obyek sesembahan. Bagi penduduk kota Sippar, Dewi Ishtar adalah “Dewi Utama.”

Ibrahim yang merupakan penduduk kota Ur sempat juga meyakini bahwa Planet Venus (Dewi Ishtar) tersebut sebagai tuhan yang sesungguhnya. Namun perenungan filosofisnya telah mengantarkan kepada pengetahuan tertinggi yang kemudian menyadarkannya bahwa planet Venus tidak memiliki ciri-ciri ketuhanan sebagaimana yang dia yakini.

Baca Juga  Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Setelah bintang-bintang di langit semuanya lenyap seiring dengan datangnya waktu fajar, maka keyakinannya berontak. Dia jelas menolak planet Venus (Dewi Ishtar) sebagai tuhannya (Qs. Al-An’am/6: 76).

Di waktu malam bulan purnama menjelang, Ibrahim sempat juga mengamat-amati keindahan dan keagungannya. Pada waktu itu, Bulan adalah “dewa utama” penduduk kota Ur, tempat tinggal Ibrahim. Penduduk kota Ur Dewi Bulan yang dikenal dengan nama Sin. Dalam hatinya sempat pula terbetik keyakinan untuk mempertuhan bulan purnama.

Namun perenungan filosofisnya juga telah mengantarkan kepada pengetahuan tertinggi bahwa bulan tidak memiliki ciri-ciri ketuhanan sebagaimana yang dia yakini. Setelah sang fajar menyingsing dan purnama menjadi kelihatan pucat pasi lalu redup, maka dia kembali di ambang sangsi. Keyakinannya jelas tidak bisa menerima konsep tuhan yang meredup (Qs. Al-An’am/6: 77).

Pada lain kesempatan, ketika di siang hari yang terik, dalam hatinya sempat terbersit untuk menganggap matahari sebagai tuhan yang tertinggi dan terbesar. Pada masa kehidupan Ibrahim, matahari merupakan dewa utama penduduk Nippur, tetangga kota Ur. Dewa Matahari disebut Shamash.

Tampaknya Ibrahim agak sedikit menemukan ciri-ciri ketuhanan sebagaimana konsep yang dia yakini sewaktu mengamat-amati matahari. Menurut pendapatnya, matahari kelihatan jauh lebih besar dibanding bulan dan Venus. Terbersit pula dalam hati Ibrahim untuk menganggap Shamash sebagai tuhan yang sesungguhnya.

Tetapi, proses perenungan filosofis yang dalam telah menyadarkannya. Apalagi ketika waktu senja menjemput, matahari tenggelam dan hilanglah keagungannya. Ibrahim tidak bisa menerima konsep tuhan yang tenggelam (Qs. Al-An’am/6: 78).

Pada akhirnya, Ibrahim tidak dapat menjadikan tuhan-tuhan milik penduduk kota Sippar, Ur, dan Nippur sebagai tuhan yang sesungguhnya baginya. Dia tetap tidak bisa menerima keyakinan yang dianut kaumnya. Bahkan terhadap keyakinan ayahnya, Azar, si pembuat patung yang banyak memproduksi tuhan-tuhan buatan tangannya sendiri.

Baca Juga  Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Karya-karya seni Azar kemudian dijadikan sebagai sesembahan bagi kaumnya. Tetapi Ibrahim tidak dapat menerima keyakinan ayah dan kaumnya yang telah menjadikan karya-karya seni sebagai menifestasi tuhan yang sesungguhnya.

Berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks, konfrontasi keyakinan antara Ibrahim dan kaumnya terus berlanjut. Mungkin pada mulanya konfrontasi keyakinan masih dalam batas-batas toleransi.

Hingga pada puncaknya, Ibrahim sudah tidak dapat memberikan toleransi sama sekali ketika dia mulai melancarkan serangan ke Kuil Pemujaan (Kuil Sin) milik kaumnya. Dia menghancurkan seluruh berhala di kuil tersebut dan hanya menyisakan patung Sin, dewi terbesar penduduk Ur (Kisah Nabi Ibrahim menghancurkan Kuil Sin ini juga termuat dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shaffat/37: 91-93; Al-Anbiya/21: 58).

Penduduk kota Ur tidak dapat menerima ketika melihat dewa-dewa sesembahan mereka dihancurkan oleh seorang pemuda berusia 16 tahun. Dengan berbagai upaya, penduduk kota Ur mengadili Ibrahim dan memutuskan untuk membakarnya hidup-hidup. Naram-Sin (Nimrod/Namrud) memerintahkan supaya penduduk kota Ur mengumpulkan kayu bakar di lapangan untuk membakar Ibrahim.

Konon, jumlah kayu bakar yang dikumpulkan sangat banyak hingga membentuk gunungan besar. Tetapi Ibrahim berhasil diselamatkan oleh tuhannya. Meskipun dilempar ke dalam kobaran api yang menjulang tinggi, mukjizat berhasil menyelamatkan dirinya. Ibrahim selamat dari pembakaran yang dilakukan oleh kaumnya.

Pasca peristiwa pembakaran tersebut, beberapa penduduk di kota Ur disadarkan kepada fenomena tak lazim yang dialami oleh Ibrahim. Di antara mereka kemudian menyatakan beriman kepada ajaran Ibrahim, sekalipun tidak banyak. Di antaranya ialah Luth dan Harran II. Keduanya adalah ayah dan putranya. Luth adalah putra Harran II. Adapun Harran II adalah saudara kandungnya Ibrahim.

Luth adalah kerabat dekatnya, yang pada peristiwa pembakaran, melihat mukjizat pada diri Ibrahim. Selain Luth, terdapat pula seorang perempuan cantik bernama Sarah (Serai). Dia adalah putri saudara kandung Azar, Harran I (paman Ibrahim), yang menyatakan beriman kepada ajakan Ibrahim. Bahkan, Sarah inilah yang kemudian menikah dengan Ibrahim.

Baca Juga  Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Sekalipun Ibrahim telah memperlihatkan mukjizat besar, yakni ketika dia selamat dari pembakaran, tetapi kaumnya tetap menentang ajaran-ajarannya. Sampai suatu ketika Ibrahim geram dan merencanakan pembakaran kuil pemujaan milik kaumnya. Ibrahim dibantu saudaranya, Harran II, ayah Nabi Luth. Tetapi, pada peristiwa pembakaran kuil ini, Harran II tewas terbakar karena begitu dahsyatnya api melahap kuil tersebut. (Bersambung)

***

*Tulisan ini merupakan seri keempat dari serial Legasi Arab Pra Islam. Serial ini merupakan serial lanjutan dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Baca juga Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Seri 7 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan

Seri 8 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Seri 9 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kepercayaan Majusi bagi Bangsa Arab

Seri 10 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Seri 1 Legasi Arab Pra Islam: Bukan “Jazirah Arab”, tapi “Syibhu Jazirah Arab”

Seri 2 Legasi Arab Pra Islam: Siapakah Bangsa Arab Itu?

Seri 3 Legasi Arab Pra Islam: Nenek Moyang Bangsa Arab

Editor: Yusuf

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds