Saya ingin memberi sedikit tanggapan atas tulisan Ulil kedua, yang tayang di fb Ulil Abshar Abdalla kemarin, khususnya dalam konteks tambang dan isu lingkungan.
Ulil berusaha memosisikan isu lingkungan, khususnya tambang, dalam kerangka fikih dan ideologi. Hal ini tampak dari cara Ulil mengaplikasikan prinsip fikih seperti “dar’ul mafasid muqaddamu ‘ala jalbil mashalih” dan “Idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iyat akhaffuhuma” yang dikontekskan dalam isu tambang.
Kita tahu, kedua prinsip itu berasal dari prinsip-prinsip ushul fikih (etika hukum Islam) yang sering diterapkan dalam konteks pengambilan keputusan dalam mempertimbangkan dampak keputusan itu.
“Dar’ul mafasid muqaddamu ‘ala jalbil mashalih”, artinya adalah “menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat”. Dalam konteks pertambangan, prinsip ini mengajarkan bahwa ketika membuat keputusan, menghindari atau mencegah kerugian atau kerusakan harus lebih diprioritaskan daripada mencari keuntungan atau manfaat. Prinsip ini dipakai oleh Ulil. Saya bisa tambahkan aplikasinya dalam konteks isu tambang:
Dalam dampak lingkungan: Jika suatu kegiatan tambang berpotensi merusak lingkungan secara signifikan, maka menghentikan atau meminimalkan kerusakan lingkungan tersebut harus diutamakan, meskipun tambang tersebut bisa memberikan manfaat ekonomi yang besar.
Dalam kesehatan dan keselamatan: Apabila operasi tambang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja atau masyarakat sekitar, maka langkah-langkah pencegahan bahaya ini harus lebih diutamakan dibandingkan hanya fokus pada keuntungan finansial.
“Idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iyat akhaffuhuma”, artinya adalah “jika terdapat dua kerusakan yang saling bertentangan, maka yang lebih ringan dari keduanya yang dipilih”. Prinsip ini mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya mengandung potensi kerugian atau kerusakan, maka yang dipilih adalah yang mengandung kerugian atau kerusakan yang lebih kecil. Prinsip ini dipakai oleh Ulil. Saya tambahkan beberapa aplikasinya dalam konteks tambang:
Pemilihan lokasi tambang: Jika ada dua lokasi tambang yang mungkin, dan masing-masing memiliki dampak negatif, pilihlah lokasi yang dampak negatifnya lebih kecil. misalnya, memilih lokasi tambang yang dampak kerusakannya lebih sedikit terhadap ekosistem atau masyarakat.
Metode penambangan: Jika terdapat dua metode penambangan, salah satunya lebih merusak tanah dan air, sementara yang lainnya lebih sedikit merusaknya tetapi lebih mahal, maka metode yang lebih sedikit merusaknya mungkin lebih bijak dipilih meskipun lebih mahal.
Maka penggunaan kaidah atau prinsip ushul fikih dan etika Islam dari fikih lingkungan ini: Dalam praktik pertambangan, kedua prinsip tadi, mendorong pengambil keputusan untuk selalu mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi dengan berupaya meminimalkannya, bahkan jika hal itu berarti mengorbankan beberapa keuntungan jangka pendek. Luar biasa prinsip ushul fikih ini. Menjadikan fikih bisa terus aktual.
Dan saya bisa memahami pendekatan fikih yang diusulkan Ulil ini sejalan dengan konsep keberlanjutan dan tanggung jawab sosial, memastikan bahwa kegiatan tambang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Saya setuju sepenuhnya dengan argumen Ulil dalam fikih lingkungan ini. Ini memang argumen fikih yang popular dan terus berkembang di Indonesia dalam isu-isu sosial maupun lingkungan.
Namun menurut saya, hanya, sekali lagi hanya dengan pendekatan ini saja, bisa mereduksi persoalan, karena mengabaikan dimensi global dan ilmiah dari masalah lingkungan. Sebagai contoh, isu perubahan iklim dan kerusakan ekosistem bukanlah semata perdebatan fikih domestik tetapi merupakan ancaman global yang memerlukan konsensus ilmiah dan tindakan kolektif lintas negara. Ini yang saya sebut dalam tulisan saya yang lalu, argumen fikih saja tidak memadai. Fikih perlu kritis. Dan itu memerlukan perspektif interdisipliner seperti filsafat lingkungan, dan ilmu ekologi.
Tulisan Ulil juga tampak mengabaikan analisis motif ekonomi dan politik di balik kebijakan tambang. Kritik ini akan memperlihatkan, bahwa penerimaan tambang mungkin lebih didorong oleh ekonomi dan hubungan politik dengan pemerintah, bukan semata-mata pertimbangan fikih. Maka harusnya Ulil menganalisis kepentingan yang lebih luas dan tersembunyi di balik keputusan-keputusan tersebut. Bukan mengabaikan atau menyembunyikannya.
Ulil juga dalam tulisannya tampak menyederhanakan argumen para aktivis lingkungan yang menentang tambang sebagai tindakan “alarmism” atau kepanikan yang tidak berdasar. Pandangan ini mengabaikan data dan bukti ilmiah tentang dampak negatif tambang terhadap lingkungan dan komunitas lokal. Sudah banyak etnografis yang ditulis para aktivis lingkungan tentang dampak ekologis dan sosial.
Aktivis lingkungan biasanya memiliki dasar ilmiah yang kuat untuk menentang tambang, dan Ulil memosisikan mereka semata-mata sebagai “fundamentalis” atau malah “ekstremis” (sedihnya saya). Ini adalah penilaian yang kurang adil dan tidak menghargai validitas data mereka.
Pendekatan Ulil yang membicarakan kritik terhadap tambang sebagai ideologis juga bisa dilihat tidak relevan dan menyesatkan. Ideologi seperti perubahan dan krisis iklim yang disebutkan oleh Ulil memang memiliki sifat ideologis, tetapi isu tambang seharusnya dianalisis berdasarkan dampak nyata dan bukti-bukti lingkungan serta sosial, bukan sekadar perdebatan ideologi dan fikih.
Ada kritik yang banyak disampaikan pendebat Ulil, seharusnya organisasi agama, fokus pada pemberdayaan internal sebelum merambah ke luar, termasuk dalam hal mengelola tambang. Mengambil alih tambang dianggap sebagai langkah yang tergesa-gesa dan bisa menimbulkan preseden buruk, terutama jika tidak disertai dengan kemampuan yang memadai untuk mengelola sumber daya tersebut dengan bijak.
Dengan mempertimbangkan poin-poin di atas, Ulil tampaknya harus menyampaikan argumen yang lebih solid, holistik dan berbasis bukti dalam isu tambang yang menjadi fokus diskusi ini, dengan memahami dampak lingkungan secara ilmiah, dan menganalisis motif ekonomi dan politik di balik kebijakan atau keputusan menerima tambang ini.
Menurut saya, ini kunci untuk menghindari argumen Ulil bersifat reduksionitik, dengan memastikan kebijakan menerima konsesi tambang yang diambil, sudah benar-benar dihitung bermanfaat bagi masyarakat luas, dengan menunjukkan seminimal mungkin dampaknya, seperti fikih lingkungan yang diusung Ulil. Ini yang belum dilakukan Ulil. Ulil berhenti di argumen fikih lingkungan melulu. Belum menunjukkan bagaimana dampak ekologis pertambangan yang sudah banyak ditunjukkan para aktivis lingkungan, ditanggapi, tentu dengan data juga. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh