Sunan Kalijaga merupakan salah satu tokoh dari walisongo. Dalam menyebarkan agama Islam Sunan Kalijaga tidak menghilangkan tradisi dan budaya yang sudah ada, melainkan memasukkan dengan nilai-nilai Islami di dalam dakwahnya.
Masa Muda Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden Sahid/Raden Said/Syaikh Malaya/Lokajaya. Ia putra dari Tumenggung Wilatikta yang merupakan adipati Tuban. Kakek Sunan Kalijaga adalah Arya Teja, seorang ulama yang behasil mengIslamkan Raja Tuban, Arya Dikara, dan menikahi putri Raja Tuban tersebut. Versi lain mengenai asal usul Sunan Kalijaga dituturkan bahwa Sunan Kalijaga merupakan keturunan Cina bernama Oei Tik Too yang memiliki putra Wilatikta, adipati Tuban. Wilatikta ini kemudian memiliki anak yang bernama Oei Sam Ik, atau yang terkenal dengan nama Raden Sahid. (Sofwan Ridin, Islamisasi di Jawa: 2000, 83).
Raden Sahid diperkirakan lahir sekitar tahun 1450 M. di Tuban Jawa Timur, dan menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) tatkala usianya menginjak 20 tahun, dan dikaruniai tiga anak, yaitu Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Ruqayyah, dan Dewi Shofiyah (Rachmad Abdullah, 2015: 108). Raden Sahid mengalami tiga fase pemerintahan: Pertama, masa akhir Majapahit (runtuh 1478 M.), zaman kesultanan Demak (1481-1546 M.), dan kesultanan Pajang (runtuh 1568 M.). Diperkirakan Sunan Kalijaga wafat tahun 1568 M. dengan dianugerahi usia yang panjang. (Sofwan Ridin, Islamisasi di Jawa: 2000, 83).
Semasa muda, Raden Sahid pernah menjadi Brandal dengan cara mencegat dan merampas harta orang-orang kaya untuk kemudian diberikan kepada orang-orang miskin. Sunan Kalijaga atau yang saat itu dikenal sebagai Brandal Lokajaya memiliki kepedulian besar terhadap kaum fakir miskin. Ia tidak tahan melihat penderitaan orang-orang tertindas serta sengsara hidupnya. Tindakan Raden Sahid ini lama-kelamaan diketahui oleh ayahnya hingga memancing kemarahan dari sang ayah dan kemudian mengusirnya keluar dari Kadipaten Tuban (Umma Farida, “ISLAMISASI DI DEMAK ABAD XV M: 2015, 11).
Pengembaraan Raden Sahid
Pengembaraan Raden Sahid pun dimulai, hingga suatu saat ia bertemu dengan Sunan Bonang, juga berguru kepada Syaikh Sutabris di Malaka, dan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Dalam proses menuntut ilmu dengan Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga menikahi putri Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi Sarokah binti Sunan Gunung Jati dan dianugerahi lima anak, yaitu: (1) Kanjeng Ratu Pambayun (Istri Sultan Trenggono), (2) Nyai Ageng panegak, istri Kyai Ageng Pakar, (3) Sunan Hadi, yang menjadi Panembahan Kali yang menggantikan Sunan Kalijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu, (4) Raden Abdurrahman, (5) Nyai Ageng Ngerang (Rachmad Abdullah, 2015: 110).
Ridin Sofwan menuturkan bahwa di antara ajaran yang diperoleh Sunan Kalijaga dari Sunan Bonang adalah ilmu ‘sangkan paraning dumadi’ yang menguraikan tentang: (a) darimana asal-usul kejadian alam semesta seisinya, termasuk di dalamnya tentang manusia. (b) ke mana perginya nanti dalam kelenyapannya sesudah adanya. (c) apa perlunya semua itu adanya sebelum lenyapnya nanti. (d) apa perlunya manusia itu hidup. (e) apa hidup itu sejatinya. (Sofwan Ridin, Islamisasi di Jawa: 2000, 114).
Ilmu yang dipelajari Raden Sahid di antaranya: Beladiri, membaca dan menulis huruf Jawa maupun bahasa Arab, tafsir al-Qur’an, ilmu syariat dan hukum fiqh, ilmu seni seperti seni ukur dan seni batik serta ilmu politik. Bahkan disebutkan bahwa kemampuan Raden Sahid untuk mencerna seluruh ilmu ini sangat luar biasa, dengan cepat dapat mengkhatamkan dan memahami kandungan isi al-Qur’an, dan banyak menghafal hadis (Umma Farida, “ISLAMISASI DI DEMAK ABAD XV M: 2015, 11).
Penamaan Kalijaga
Adapun penamaan ‘Kalijaga’ yang berarti menjaga sungai, ditafsirkan bahwa ia pernah berkhalwat selama tujuh bulan atas perintah Sunan Bonang di sebuah sungai yang berada di tengah hutan yang sepi, seakan ia menjaga sungai tersebut, dan secara kebetulan hutan itu bernama Kalijaga, yang terletak di daerah Cirebon. Namun ada pula yang memaknai bahwa nama ‘Kalijaga’ merupakan cermin dari kemampuan Sunan Kalijaga dalam menjaga aliran atau kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat.
Ia tidak menunjukkan sikap antipati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan Islam, tetapi justru bersikap bijak dan toleran terhadap aliran-aliran kepercayaan tersebut. Sehingga, Sunan Kalijaga merupakan satu-satunya wali yang paham dan mendalami aliran kepercayaan yang ada dalam masyarakat. (Sofwan Ridin, Islamisasi di Jawa: 2000, 91).
Setelah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan para gurunya, Sunan Kalijaga mulai mencurahkan segala waktu, tenaga, dan ilmunya untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di Cirebon. Berkat kesungguhan dan keikhlasannya menyebarkan agama Islam, banyak masyarakat yang tertarik untuk masuk agama Islam tanpa paksaan.
Nama Sunan Kalijaga pun menjadi sangat akrab di telinga masyarakat, hingga kemasyhurannya sampai ke telinga Sultan Fattah, Raja Kesultanan Bintoro Demak. Sultan Fattah berkenan memanggil Sunan Kalijaga dan mengangkatnya sebagai pujangga sekaligus penasehat kerajaan (Muhammad Khafid, 2009: 141).
Sunan Kalijaga wafat di desa Kadilangu Demak dan dimakamkan di sana. Desa ini berjarak kurang lebih 1 km sebelah timur Masjid Agung Demak, dan berdekatan dengan pusat kerajaan Islam Demak abad XV M. (Sofwan Ridin, Islamisasi di Jawa: 2000, 83).