Riset

Ritual Sa’i dan Penemuan Mata Air Zam-zam

5 Mins read

Tuhan telah menjanjikan kepada Ibrahim akan keturunannya yang banyak sekali. Keturunannya kemudian bakal melahirkan banyak suku bangsa di tanah Arab. Hajar, budak pemberian raja Mesir (Amaliq), oleh Nabi Ibrahim as. kemudian dinikahi setelah mendapat persetujuan dari Sarah.

Karena usia Nabi Ibrahim as. yang makin uzur, demikian juga Sarah, tetapi pada waktu itu dia belum juga dikaruniai keturunan. Menyadari bahwa usia keduanya makin tua, Sarah kemudian mempersilahkan kepada Nabi Ibrahim as. untuk memperistri Hajar, budak perempuannya hadiah dari Raja Mesir (Nurcholish Madjid, 2002: 57).

Konon, karena dilandasi atas rasa cemburu, Sarah mengusir Hajar dari tempat tinggal mereka bertiga. Tampaknya, rumah tangga Ibrahim di ambang keretakan. Sebab Sarah, istri pertama Ibrahim yang sangat setia menemani selama perjuangannya, tidak dapat menahan cemburu. Tetapi, pada akhirnya Sarah sadar akan sikapnya teradap Hajar. Dia pun memperbaiki sikapnya terhadap budak perempuannya itu.

Hingga pada suatu ketika Hajar hamil. Kondisi inilah yang kemudian kembali memicu kecemburuan Sarah. Apalagi usia Sarah makin uzur dan tidak dikaruniai anak. Ketika Hajar melahirkan putranya, Ismail, justru Sarah mengusirnya. Tampaknya Sarah iri hati melihat kebahagiaan Hajar yang mendapat karunia seorang anak laki-laki. Ibrahim pun semakin gembira mendapat karunia seorang anak dari Hajar.

Konon, Ibrahim selalu merawat dengan baik putranya, Ismail. Apalagi pada waktu itu Ismail sedang lucu-lucunya. Hampir setiap hari Ibrahim mengasuh putra satu-satunya itu. Secara otomatis, Ibrahim pun lebih condong kepada Hajar dalam hal memberikan kasih sayang. Inilah yang menyebabkan Sarah cemburu dan dia meminta Ismail dan Hajar diusir dari rumah tangga mereka.

Untuk menjaga keutuhan rumah tangga Nabi Ibrahim as. yang telah dibangun selama bertahun-tahun dengan Sarah, akhirnya Hajar dibawa pergi jauh menjauh dari Hebron. Nabi Ibrahim membawa Hajar beserta putranya menyusuri berbagai kawasan.


Nabi Ibrahim as. mendapat petunjuk dari Allah swt. supaya Hajar dan Ismail dibawa hingga sampai ke sebuah lembah (Bakkah). Lembah tersebut bukanlah sebuah kota, melainkan sebuah tempat transit para pedagang wewangian di kawasan tersebut.

Pada saat Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail, kawasan ini tak berpenghuni. Berupa kawasan bebatuan tandus dan gersang. Ibrahim menyerahkan perlindungan istri dan anak pertamanya kepada tuhannya. Rasa percaya Ibrahim atas perlindungan tuhannya kepada istri dan anaknya menyebabkan dia tega meninggalkan mereka berdua di kawasan gersang dan tandus tak berpenghuni.

Baca Juga  Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Dari sinilah kemudian kisah Hajar bertahan hidup bersama putranya, Ismail, karena kemudian dia ditinggal oleh Nabi Ibrahim as. di tengah padang tandus dan gersang. Ibrahim hanya meninggalkan sedikit makanan dan air untuk istri dan anaknya. Tetapi udara panas di kawasan Hijaz menyebabkan mereka berdua kehausan. Sampai pada suatu ketika persediaan air habis. Sementara Hajar harus menyusui Ismail yang terus merengek kehausan.

Terdorong oleh naluri keibuannya, Hajar dengan susah-payah mencari pertolongan untuk mengidupi putranya yang baru lahir itu. Dia berusaha berjalan ke arah bukti dengan harapan dapat melihat serombongan kafilah yang melewati kawasan tersebut. Sesampai di kaki bukit Shafa, dia memaksakan diri naik ke atas bukit. Tetapi hasilnya nihil. Dia hanya melihat hamparan pasir dan bebatuan tandus dengan udara kering yang menyengat.

Tubuh Hajar mulai lemas. Kerongkongannya terasa panas kering. Tetapi karena terdorong oleh naluri keibuannya yang melihat putranya terus merengek kehausan, dia terus berjuang mencari bantuan dari kafilah yang melintas di kawasan tersebut.
Dia menuruni bukit tersebut dan dengan langkah terhuyung-huyung bermaksud mendekati anaknya. Setelah menuruni tebing, perasaan Hajar terus bergolak.

Batinnya semakin dikuatkan oleh jeritan tangis putranya yang makin lama semakin melemah. Ismail di ambang sekarat. Hajar terus berjuang mencari bantuan untuk dapat menyelamatkan putranya. Dalam kondisi dehidrasi yang parah, kaki Hajar seakan-akan digerakkan oleh “kekuatan” yang memaksanya menuju ke kaki bukit Marwa.

Tubuhnya yang makin lemah menyebabkan jalannya terhuyung-huyung. Sesampainya di lembah Marwa, Hajar memaksakan diri naik ke puncak bukit. Dia berharap menemukan sekelompok kafilah dagang yang melintasi kawasan tersebut. Tetapi setelah dia mencapai puncak Marwa, pandangannya hanya tertuju kepada hamparan padang tandus dan gersang. Tak ada kafilah dagang yang lewat.

Baca Juga  Perkembangan Ilmu Nahwu, Era Klasik Sampai Modern

Hajar turun dari puncak bukit tersebut dan bermaksud mendekati putranya. Tetapi suara tangis putranya makin lemah. Ismail benar-benar diambang sekarat. Hajar menangis dan hampir putus asa. Tetapi naluri keibuannya terus memaksa dirinya berusaha dengan berharap bantuan dari kafilah dagang yang lewat. Mungkin karena kondisi bathin yang tertekan, atau karena rasa frustasi yang terus membayangi dirinya, Hajar kembali lagi ke puncak bukit Shafa. Kejadian tersebut berulang-ulang sampai tujuh kali.


Pada akhirnya, Hajar mendengar suara di sekeliling putranya yang sudah sekarat. Mungkin karena dihantui oleh penglihatan fatamorgana atau karena perasaan bathin yang tersiksa, Hajar seakan-akan tidak percaya mendengar suara tersebut. Lantas dia menahan nafas dalam-dalam untuk memastikan suara tersebut.

Ternyata benar, Hajar melihat seseorang yang tampak aneh berdiri di dekat Ismail. Hajar pun segera berlari menuju tempat Ismail dibaringkan di bawah sebuah pohon. Tampaknya dia adalah malaikat. Ciri-cirinya, sekalipun persis seperti orang Arab, tetapi tidak menunjukkan bahwa dia seorang musafir. Dan dia memang malaikat, yakni malaikat Jibril.

Jibril tampak menyepakkan kakinya. Dari bekas sepakan kakinya keluarlah air mengucur deras. Hajar begitu gembira melihat mata air yang mengucur deras ke segala arah itu. Lantas dia segera minum untuk menghilangkan rasa haus yang sangat. Dan dia segera menyusui putranya, Ismail.

Mata air yang terus memancar ke segala arah itu dikumpulkan oleh hajar. Dia membuat cekungan dan mengumpulkan bebatuan untuk menampung air yang melimpah itu. Konon, pada waktu itu, Hajar mengatakan, “Zam! Zam!” (Ibrani: Kumpul! Kumpul!). Hingga kemudian mata air yang merupakan anugerah dari tuhan itu dinamakan Sumur Zam-zam.

Mata air Zam-zam merupakan anugerah terbesar bagi Hajar dan Ismail di lembah Bakkah. Setelah mereka berdua selamat dari dehidrasi yang parah, beberapa pohon kurma mulai tumbuh di kawasan tersebut. Serombongan kafilah dagang dari Suku Jurhum melihat sekawanan burung berputar-putar di atas mata air Zam-zam. Suku Jurhum adalah keturunan Aibar, putra Qaynan, putra Arfakhshad, putra Sam, putra Nuh. Jadi, mereka adalah bangsa Smith (keturunan Sam bin Nuh).

Baca Juga  Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Dalam tradisi masyarakat gurun, jika terdapat sekawanan burung yang berputar-putar di suatu tempat, dapat dipastikan di sekeliling tempat tersebut terdapat oase atau sumber mata air. Suku Jurhum inilah yang kemudian menemui Hajar dan Ismail. Dalam tradisi masyarakat gurun, setiap orang yang memiliki sumber mata air dianggap sebagai orang terhormat.

Hajar dianggap sebagai pemilik mata air Zam-zam yang nilainya jauh lebih berharga ketimbang emas ataupun harta benda lainnya. Suku Jurhum kemudian memohon kesediaan Hajar agar mereka diperkenankan tinggal di kawasan di sekeliling mata air Zam-zam. Ismail kemudian tumbuh dewasa di antara Suku Jurhum. Bahkan dia kemudian menikah dengan salah seorang perempuan keturunan suku ini. (Bersambung)

***

*Tulisan ini merupakan tulisan ketujuh dari serial Legasi Arab Pra Islam. Serial ini merupakan serial lanjutan dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Baca juga Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Seri 7 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan

Seri 8 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Seri 9 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kepercayaan Majusi bagi Bangsa Arab

Seri 10 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Seri 1 Legasi Arab Pra Islam: Bukan “Jazirah Arab”, tapi “Syibhu Jazirah Arab”

Seri 2 Legasi Arab Pra Islam: Siapakah Bangsa Arab Itu?

Seri 3 Legasi Arab Pra Islam: Nenek Moyang Bangsa Arab

Seri 4 Legasi Arab Pra Islam: Perkembangan Ide Monoteisme Agama Ibrahim

Seri 5 Legasi Arab Pra Islam: Dinamika Ide Monoteisme Agama Ibrahim

Seri 6 Legasi Arab Pra Islam: Pengembaraan Umat Nabi Ibrahim ke Mesir

Editor: Yusuf

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds