Feature

Rizal, Penyandang Tunanetra Asal Malang Multitalenta

3 Mins read

Di sudut sebuah ruangan, ia duduk sedikit membungkuk dengan membawa tongkat. Rambutnya klimis, kulitnya sawo matang, terlihat begitu antusias mendengar sesiapapun di ruangan itu yang mengambil alih microphone dan berbicara. Saya duduk sederet dengan posisinya duduk, tak begitu jelas mendapat gambaran tentang perawakan utuh laki-laki itu. Karena penasaran, saya berdiri lalu memilih kursi yang berhadap-hadapan dengan posisinya. Ternyata dia penyintas tunanetra, mengenakan rompi abu-abu sedikit tebal persis seperti yang digunakan oleh seorang laki-laki berkacamata yang berdiri tegak satu jengkal di samping kiri dari posisinya duduk. Lima menit berlalu, saya baru sadar bahwa laki-laki berkacamata itu pendampingnya yang siap siaga untuk memberi bantuan navigasi.

Pada siang itu, Rabu tanggal 18 Oktober 2023, tepat pada jam 13.36 WIB, saya berkesempatan meliput diskusi paralel terbatas yang diikuti oleh dua puluhan orang muda yang berasal dari berbagai macam daerah. Diskusi tersebut mengusung tema Suara dan Aksi Orang Muda untuk Pembangunan Berkeadilan dan Berkelanjutan. Dari spanduk merah persegi panjang yang tertempel kokoh di sudut ruangan itu, tersirat informasi bahwa acara ini diinisiasi oleh kolaborasi tiga lembaga pemerintah dan nonpemerintah; Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, Pemerintah Singkawang, dan INFID. Diskusi tadi adalah bagian dari acara Festival HAM, diselenggarakan di kota yang meraih hattrick penghargaan kota paling toleran se-Indonesia menurut Setara Institute; Singkawang. Laki-laki penyandang tunanetra tadi adalah salah satu peserta diskusi paralel tadi. 

Saya terus menggenggam kamera smartphone, siap siaga untuk mendokumentasikan hal-hal menarik yang terjadi selama diskusi itu. Berkeliling dari sudut ke sudut, mencari angle foto yang pas guna mengabadikan beberapa momen. Sependek mata memandang, hanya dia lah satu-satunya peserta disabilitas di ruangan itu. 

Baca Juga  Kulonuwun, Pak Nadiem..

Satu setengah jam di ruangan, saya memutuskan keluar sebentar, menuangkan secangkir kopi yang disediakan oleh panitia untuk mengusir rasa kantuk. Satu panitia dari INFID menyusul saya, dia cuman keluar untuk nonkrong sejenak. Kami duduk sila di atas lantai bersebelahan sembari ngobrol tipis tentang rangkaian acara ini. Saat mau kembali ke ruangan, terbesit di pikiran saya untuk mewawancarai laki-laki tunanetra tadi. Tanpa pikir panjang, saya utarakan rencana saya ke panitia INFID. “Ouh, aman, Mas, nanti aku sampaikan ke dia setelah acara”.

***

“Nama saya Rizal, Mas, Rizal Kurniawan Hidayat, asal Kabupaten Malang” ucap laki-laki tunanetra tersebut kepada saya sebagai pembuka wawancara. Ia duduk bersila, meletakkan tongkat yang sudah dilipatnya di bawah sisi longgar kaki kirinya, tangan kanannya memegang HP.

“Saya mahasiswa semester 7 Universitas Negeri Surabaya (UNESA)  jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya itu tunanetra sejak lahir, Mas”. Tangan kanannya yang sedari tadi memegang HP, tak henti-hentinya men-scroll hingga berhenti di suatu titik.

“Ini buku saya, Mas, judulnya Pena Kegelapan, ini versi PDF-nya, monggo kalau mau dilihat-lihat”. 

Perasaan saya campur aduk. Saya merasa takjub sekaligus “tertampar”. Dia yang tunanetra dengan keterbatasannya, sukses melahirkan satu karya buku utuh, sementara saya, yang secara fisik lebih beruntung apalagi sudah kerja di media selama 3 tahun, tak satupun karya buku yang saya hasilkan.

“Saya memang hobi nulis mas, nulis cerpen, puisi, dan buku antologi. Saya juga ngajar les privat kok mas, dari tingkat SD sampai SMA, kalau tingkat SD saya ngajar semua mapel, kalau SMP dan SMA, saya ngajar Bahasa Indonesia, saya juga ngajar musik, terutama keyboard piano, hehe”.

Baca Juga  Hal-hal yang "Haram" bagi Penulis

Ia begitu antusias berkecimpung di dunia pendidikan, setelah saya tanya alasannya, ternyata ia bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas profesi masyarakatnya adalah pendidik. Selain itu, yang membikin dia tambah semangat yaitu feedback positif yang ia terima dari peserta didiknya. “Mereka seneng, Mas, kalau saya ajar, katanya mudah banget dipahami”.

***

Enam setengah menit berselang, saya terpantik untuk memberikan sebuah pertanyaan “template” yang sering ditanyakan oleh orang non-disabilitas ke penyandang disabilitas, “Kira-kira, ada nggak sih yang mem-bully sampeyan, Mas? Dan kira-kira menurut sampeyan, apakah pemerintah sudah memberikan fasilitas yang layak kepada para penyandang disabilitas?”. Dan jawaban dia di luar dugaan saya. 

“Kalau dulu saya sekolah di SLB sih, Mas, jadi saya nggak ngalamin pem-bully-an, fasilitas publik pun saya rasa sudah baik ya, terutama di daerah saya tinggal, sudah terdapat guiding block yang bisa bantu saya jalan”.

Tantangan yang dihadapi justru saat masuk ke jenjang perkuliahan. Menurut pengakuannya, dia lah satu-satunya penyandang tunanetra yang berkuliah di sana. Situasi ini tentu berbeda jauh jika dibandingkan saat di SLB dulu. Tantangan yang dihadapi tidak hadir dalam bentuk pem-bully-an, perundungan, atau kekerasan fisik, melainkan rasa “canggung” dan “tidak enakan” teman-temannya saat bergaul dengan dia. Kerap kali mereka menahan diri untuk mengajak Rizal berbicara karena takut tak sengaja menyinggung perasaannya. Akibatnya, ia sering tidak dilibatkan dalam tongkrongan dan tidak diajak ketika ada agenda piknik. Rizal pun mencoba berbagai cara untuk bisa diterima di “tongkrongan”. 

“Saya tuh malah nggak enak kalau pas saya datang ke tongkrongan, mereka malah nggak loss, malah canggung. Saya pengennya mereka ya chill-chill saja di depan saya, nge-jokes-jokes kayak manusia umumnya, lagipula saya sudah berdamai, saya malah sedih kalau mereka nggak luwes karena kehadiran saya”.

Baca Juga  Anthony Giddens dan Spirit "One Week Two Articles"

“Malah biasanya saya duluan yang ngeceng-cengin mereka duluan heheheh. Biar mereka rileks dan nggak ada canggung-canggungnya”. 

Banyak pelajaran yang saya petik dari beliau. Pertama, keterbatasan yang sama sekali bukan halangan untuk mengejar passion dan cita-cita dan kedua, sebagaimana orang pada umumnya, para penyandang disabilitas juga ingin diperlakukan layaknya orang biasa. Mereka juga ingin diajak bergaul, bercanda, dan dilibatkan di tongkrongan-tongkrongan. Sukses selalu Mas Rizal!

Editor: Yusuf

Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds