Oleh: Fikrul Hanif Sufyan
Peralihan masa Kolonial Belanda ke masa pendudukan Jepang diwarnai harapan kesejahteraan. Jamak seluruh bumiputra berharap di bawah ‘saudara tua’, Nippon dapat membuktikan tiga jargon di Asia. Di awal pemerintahannya, Jepang berupaya keras mencari simpati dari rakyat Indonesia–terutama membantu mereka dan mengeksploitasi kekayaan demi Perang Asia Pasifik. Tulisan ini mengulas strategi Muhammadiyah Pariaman melawan Romusha.
Situasi Awal Jepang di Kurai Taji – Pariaman
Pada masa awal pendudukan di Pariaman, ada hal unik yang ditunjukkan orang Jepang. Adanya keinginan kuat dari tentara Dai Nippon, untuk belajar bahasa Indonesia. Tentara Dai Nippon datang ke Kurai Taji, pada umumnya tidak murni dari Jepang seluruhnya. Sebagian ada yang berasal dari Batak dan Minahasa.
Mereka yang berasal dari Jepang, berupaya belajar dari para pemuda maupun anak-anak sekolah untuk sekadar belajar bahasa Indonesia, ataupun memahami bahasa Pariaman. Di samping itu, semangat Jepang Pembebas Asia selalu didengung-dengungkan mereka untuk meraih simpati besar dari masyarakat.
Kasim Munafy, pengurus Muhammadiyah Cabang Pariaman –yang mengakhiri perantauannya di Kertapati Palembang dan kembali ke kampung halamannya, kaget dengan perilaku tentara pendudukan Jepang di Kurai Taji.
Ia kaget melihat gedung Amal Usaha Muhammadiyah Cabang Kurai Taji sudah dijadikan asrama tentara Jepang. Gedung yang dimaksud adalah gedung ‘Aisyiyah yang berlokasi di Limau Hantu dan bangunan Surau Dagang di Kurai Taji.
Kasim geram melihat tentara Jepang yang seenaknya telanjang ketika mandi di depan Surau Dagang dan mereka juga memelihara beberapa ekor babi (Kasim Munafy, 1984: 2). Seminggu berada di Kurai Taji, Kasim merasakan situasi sulit sejak hadirnya Jepang di Kurai Taji.
Bukan persoalan pangan saja, kain-baju juga menjadi barang langka hampir di seluruh Pariaman. Dan, sepahit-pahit masa malaysie, belum pernah ditemukan celana dijadikan sebagai bahan baju. “Pada masa Jepang, celana panjang dipotong begitu rupa sehingga bisa menjadi baju,” tulis Kasim dalam catatannya.
Ada pula pameo di tengah masyarakat Kurai Taji yang hidup dalam ingatan Kasim, yakni baju tarok sarawa goni. Kesulitan bahan pakaian, membuat masyarakat memutar otak untuk menutup auratnya. Mereka yang berusia remaja hingga dewasa, untuk keluar rumah ataupun bekerja, memakai baju dari kulit tarok. Dan, untuk celana mereka memakai karung goni. Padahal, karung itu sering dipakai untuk kopra dan gula pasir. Kasim merasa beruntung, di tengah kesulitan berbusana, ia masih menyimpan beberapa bahan kain –yang ia beli semasa tinggal di Kertapati.
Dipaksa Ikut Kinro Hoshi (Gotong–royong)
Setahun menduduki Pariaman, tentara Jepang mewajibkan seluruh masyarakat untuk ikut berpartisipasi melaksanakan gotong-royong, terutama di bagian Balai Kurai Taji. Namun pada awal pelaksanaan kegiatan itu, masyarakat yang terlibat tidak terlalu banyak. Taicho (pimpinan Jepang di Kurai Taji) curiga melihat minimnya masyarakat yang terlibat karena dihalangi tokoh Muhammadiyah.
Pada Desember 1943, Oedin–ketika itu masih menjabat Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Daerah Minangkabau–dipanggil menghadap Taicho di rumah Rakiyah (anak Haji Mangan). Taicho yang sudah menantikan kehadiran Oedin di depan meja kantornya, segera mencabut samurai. Ia pun langsung melontarkan tuduhan pada Oedin sebagai orang yang menghasut untuk melawan pemerintah Jepang, “…Langsung menuduh saya tidak mau ikut gotong royong sebagaimana orang banyak yang terus menerus saja diminta untuk bergoro itu. Dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa saya menjawab bicara Taicho itu, bahwa yang dikatakannya adalah tidak benar,” demikian seperti kutipan dalam manuskrip Kasim Munafy (1984).
Oedin menjelaskan, bahwa orang-orang yang ikut gotong royong setiap hari itu adalah warga Muhammadiyah. Ia meminta supaya Taicho mengerahkan tentaranya untuk mengamati benar atau tidak tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah Cabang Pariaman.
Tiga hari setelah dipanggilnya Oedin, makin banyak keluarga dari groep Muhammadiyah yang ikut dalam kegiatan itu, misalnya dari groep Sungai Laban, Kampung Apar, dan Marunggi. Tanpa dikomando seluruh anggota persyarikatan segera membersihkan los Balai Kurai Taji. Kegiatan yang diprakarsai Oedin pun memancing perhatian Taicho, sehingga kecurigaan yang dialamatkan pada pimpinan persyarikatan pun hilang.
Strategi Muhammadiyah Pariaman Melawan Romusha
Sulitnya kondisi hidup anggota persyarikatan pada masa pendudukan Jepang mendorong pimpinan Islam Berkemajuan mempertahankan hidup mereka di tengah langkanya bahan kebutuhan pokok.
Pada akhir Desember 1942, Sidi M. Ilyas–selaku Ketua Cabang—berinisiatif mencari sebuah lahan yang luas untuk dijadikan kebun bersama. Ilyas ketika itu, sudah beroleh tanah di Anduring Nagari Kayu Tanam dan meminta seluruh anggotanya, untuk ikut mengolah lahan pertanian sekali seminggu (Kasim Munafy, 1984:2). Dengan menumpang kereta api jurusan Pariaman, 50 orang anggota persyarikatan bertolak menuju Kayu Tanam.
Setiap kali berangkat rombongan yang memakai seragam Hizbul Wathan itu berbaris rapi dan menyanyikan mars ‘Muhammadiyah bergotong-royong’. Taicho waktu itu menduga anggota Muhammadiyah Kurai Taji yang berangkat sekali seminggu, guna membantu romusha merampungkan rel kereta api di Sintuk Lubuk Alung dan Tabing. Padahal, itu hanya bagian dari strategi Ilyas untuk mengelabuhi dan menjaga nama baik mereka di depan Taicho.
Meski Sulit, Pengkaderan Tetap Jalan
Pada masa pendudukan Jepang, selain membuka kebun bersama untuk anggota Muhammadiyah, Ilyas mengeluarkan beberapa langkah strategis melawan kebijakan romusha. Menjadi bagian dari strategi Muhammadiyah Pariaman melawan romusha.
Pertama, sebelum Jepang masuk ke Pariaman, Ilyas sudah diingatkan oleh rekannya yang berasal dari Padang Sidempuan untuk membentuk panitia penyambutan Jepang. Disarankan waktu itu, agar anggota persyarikatan yang ditunjuk sebagai panitia memakai ban lengan bertuliskan ‘Z’.
Kedua, pada November 1943 Ilyas merekrut beberapa orang parewa dan perampok untuk mengamankan masyarakat Kurai Taji dari tindak kekerasan tentara Jepang. Para parewa ini dikumpulkan oleh Ilyas di muara Batang Mangau, atau tepatnya di Ujung Tanjung Sunur.
Sebelum parewa melaksanakan tugas, mereka disumpah oleh Ilyas untuk menjaga ketentraman masyarakat dari rampok-rampas tentara Jepang, serta berjanji tidak akan melakukan kekerasan dan merampok masyarakat.
Selain diajak gotong royong, masyarakat Kurai Taji juga dilanda was-was. Mereka cemas, bila remaja lelaki menjadi korban penculikan untuk dikirim ke Logas Riau. Ketika itu slogan yang santer terdengar adalah, “menjadi mayat setelah dikirim ke Logas.”
Masyarakat sudah mendengar buruknya perlakuan dari tentara Jepang terhadap pekerja romusha di Muaro Sijunjung. Mereka pun melarang remaja lelakinya mendekati pasar, kantor kepala nagari, dan markas tentara Jepang.
Kasim termasuk satu dari sekian pemuda yang terhindar dari romusha. Kasim cerdik dalam menyikapi kerja paksa tersebut. Ia ingin mengganti kewajiban romusha dengan uang. Kasim yang berusia 26 tahun—yang berprofesi sebagai toke kopi—setiap dua kali dalam satu bulan, berangkat ke Padang. “…saya waktu itu ialah menjadi tauke (baca: toke) kopi biji yang sekali 15 hari dibeli di Padang untuk bahan bubuk kopi yang menjadi jualan Ande dan mandeh-mandeh lainnya sehari hari di Pasar Kuraitaji dan Pariaman. Dengan adanya ‘duit’ ini dapat mengganti tenaga badan dengan tenaga uang.”
Meskipun hidup pada masa pendudukan Jepang serba kekurangan dan aktivitas Muhammadiyah mengalami penurunan signifikan, pimpinan Cabang tetap mengutus anggota persyarikatan, untuk mengikuti pengkaderan di Padang Panjang.