Feature

Tuna Empati di Saat Pandemik

3 Mins read

“Jika anda makan enak sedangkan tetangga anda kelaparan maka anda bukan orang baik”

“Jangan posting memposting makanan selama Ramadhan. Bisa jadi saudara-saudara kita yang berbuka atau sahur hanya dengan segelas air”

Status Whatts App yang berasal dari teman di atas. Sangatlah menusuk langsung ke jantung hati yang terdalam. Setelah melihat WA itu kepala tertunduk. Wajah ceria berubah menjadi murung.

 Ujian wabah yang sudah hampir 2 bulan ini, tidak hanya berdampak pada dunia kesehatan. Tetapi juga telah memporak-porandakan perekonomian bangsa. Industri berhenti berproduksi. Sekolah diliburkan, siswa belajar di rumah.

Transportasi dan pergerakan orang dibatasi. Daya beli masyarakat menurun. Dampaknya Ancaman kelaparan di depan mata. Ancaman kelaparan bukan saja berdampak pada yang usia tua. Tetapi juga yang muda.

Di usia produktif mereka mesti pasrah karena terkena kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sisa tabungan hanya cukup untuk membayar cicilan atau kontrakan. Usaha dan kerja keras yang digaungkan oleh para motivator untuk mendapatkan kesuksesan.  Pada saat ini menjadi tidak berarti.

Karena semangat mereka  bekerja tidak pernah mengalami penurunan. mereka tidak dapat bergerak bebas dibatasi oleh aturan pemerintah untuk berdiam diri saja di rumah. Pengangguranpun tidak lagi hanya pada usia tua atau orang yang malas tetapi untuk saat ini pengangaguran menjadi berjamaah.

Di saat kondisi yang sedemikian rumit. Maka dibutuhkan rasa empati dari setiap individu. Rasa empati itu tidak hanya kita tunjuk jari kita kepada pemerintah  atau pejabat yang lambat menyalurkan bantuan sembako.

Juga dalam menyalurkan bantuan bukan untuk kebutuhan makanan pokok rakyat tetapi untuk pelatihan pra kerja. Kalau hanya menunggu dan mengharapkan bantuan dari mereka saja maka rakyat bisa jadi akan mengalami kematian akibat kelaparan.

Baca Juga  Apakah "New Normal" Benar-benar Baru?

Rasa empati dapat kita lakukan dari diri kita sendiri. Apa yang bisa kita lakukan maka lakukanlah. Berbuat baik tidak mesti menunggu menjadi pejabat atau menjadi orang kaya.

***

Dalam Islam dikisahkan seorang wanita memberi anjing minum yang kehausan dapat ampunan. Dan ada juga seseorang wanita yang mengurung kucing hingga mati mendapatkan azab dari Allah SWT.  

Memenuhi kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab bersama. Yang memiliki harta sedikit bisa menyisihkan hartanya untuk memenuhi kebutuhan beli beras tetangganya. Yang memiliki kemampuan komunikasi dapat bergerak untuk melaporkan kepada pemerintah setempat  atau orang kaya agar mengeluarkan sifat kedermawanannya.

Yang diamanahkan menjadi pengurus DKM Masjid,bisa saja dana kas masjidnya dapat digelontorkan untuk kebutuhan pokok jamaahnya.  

Memang yang utama, paling afdol. Rasa empati itu tumbuh dari golongan atas. Rasa empati mereka diuji untuk mengeluarkan hartanya. Mementingkan pribadi dengan tetap mempertahankan kebiasaan berbelanja boros dan mewah merupakan sikap yang tidak bijak.

Apalagi disaat tetangga kelaparan,pandemic wabah saat ini, orang kaya membeli motor, atau mobil baru dan dilihat oleh tetangganya yang menahan lapar itu. Maka itu adalah seburuk-buruknya rasa empati.

Dalam suasana Ramadhan bagi umat Islam itu dilatih rasa empatinya. Tidak makan tidak minum seharian dari terbit sampai terbenam matahari, itu salah satunya adalah untuk dapat merasakan dan memunculkan rasa  lapar. Sebagaimana  yang dirasakan oleh orang miskin.

Perintah zakat bagi yang memiliki kelebihan harta agar dikeluarkan dua setengah persen. Di masa pandemik ini seharusnya  tidak berhenti pada urusan zakat saja.

Jika rasa empati itu sudah muncul karena dilatih dari berpuasa maka seharusnya perintah berinfaqpun dilakukan. Karena agama Islam memberi makan kepada orang yang kelaparan akan diberikan naungan di hari perhitungan.

Baca Juga  Hari Raya Idul Adha: Momentum Mudik bagi Masyarakat Tunisia

Rasulullah SAW Bersabda :

Tiga pekara siapa pun yang ada padanya, kelak akan dinaungi oleh Allah di bawah arsy-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Yaitu, berwudhu pada waktu cuaca dingin, mendatangi masjid meskipun gelap, dan memberi makan orang yang kelaparan.” (HR Abu Muslim al-Ashbahani).

***

Selain itu, berinfaq di bulan Ramadhan berbeda dengan bulan lainnya. Pahalanya akan dilipat gandakan. Dan Rasulullahpun  mencontohkan kedermawanannya di Bulan Ramadhan lebih cepat dari angin berhembus.

Di saat krisis inilah, watak seseorang akan terlihat aslinya. sifat Egos atau solidaritas yang muncul. Jika tetap mempertahankan keegoisannya maka hal itu sangatlah tidak pantas. Karena mereka yang egois itu saat berjalan di jalan umum tidak bayar. Bisa jadi itu adalah tanah orang miskin yang dihibahkan untuk jalan umum.

Di saat mereka sakit atau kecelakaan maka siapa yang akan menolongnya. Bisa jadi mereka adalah para tetangganya yang menahan rasa lapar. Udara yang dihirup, air yang diturunkan, tanah yang diinjak panca indera yang digunakan secara gratis, diberikan oleh Sang Maha Pencipta.

Jika demikian menjadi sangat wajar bahkan menjadi kewajiban bagi yang memiliki harta yang lebih untuk berbagi. Menyisihkan hartanya untuk hamba-hamba Allah yang membutuhkannya.

Editor: Yahya FR
1 posts

About author
Pemerhati Sosial Politik Alumni UIN Jakarta 2009. bekerja sebagai guru swasta aktif menulis opini di koran daerah baik online maupun cetak
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds