Review

Wael Hallaq: Tiga Perbedaan Pemerintahan Islam dan Negara Modern

7 Mins read

Oleh: Muhamad Rofiq*

Artikel ini merupakan kelanjutan daru ulasan saya tentang “Kritik Wael Hallaq terhadap Negara Modern”. Di sini saya merangkum argumen Hallaq tentang perbedaan antara pemerintahan Islam dan negara modern setidaknya menjadi tiga hal, sebagai berikut:

Kedaulatan

Dalam konsep negara modern, kedaulatan adalah salah satu the hallmark (konsep paling inti). Konsep ini sebenarnya abstrak, tetapi menunjukkan sesuatu yang sangat vital dalam politik, yaitu mengenai legitimasi kepemimpinan. Konsep kedaulatan terkait erat dengan persoalan will (kehendak). Dalam konsep ini, yang sekali lagi asal usulnya adalah konteks Eropa, negaralah satu-satunya penentu kehendak dan nasibnya sendiri (the author of its own will and destiny).

Secara historis, konsep ini lahir untuk melawan praktek monopoli kekuasaan dalam sejarah politik Eropa. Dengan kata lain, konsep ini lahir untuk melakukan pemutusan dari penindasan politik (break from tyranny) yang dilakukan oleh penguasa-penguasa di Eropa. Konteks historis lainnya di belakang konsep kedaulatan ini adalah perang antar agama (Protestan dan Katolik) selama tiga puluh yang akhirnya melahirkan perjanjian damai Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini memuat pengakuan terhadap otoritas politik setiap negara yang berada dalam teritori lain.

Ada dua implikasi epistemologis dari konsep kedaulatan ini. Pertama, tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara itu sendiri (there is no order higher than that of the state). Tidak ada yang lebih berharga dan penting daripada negara. Negara menjadi entitas yang supreme (unggul, terpenting, paling berkuasa) di atas segala-galanya. Supremasi negara ini kemudian mengharuskan adanya pengorbanan dari warga negaranya (sacrifice of citizen). Setiap keinginan individu atau unit apapun di dalam sebuah negara harus tersubordinasi di bawah keinginan negara.

Kedua, konsep kedaulatan negara ini melahirkan otoritas negara untuk membuat hukum. Konsep kedaulatan memberikan hak tunggal hanya pada negara untuk menentukan aturan. Kata Hallaq, negara tidak bisa disebut negara jika kedaulatan yang ia miliki tidak dibarengi dengan kapasitas untuk membuat hukum. Kedaulatan negara akan hilang jika hukum sebuah negara ditentukan oleh entitas lain di luar negara itu sendiri. Dengan demikian, kata Hallaq, dalam konsep negara modern, negara memiliki peran sebagai pembuat hukum layaknya Tuhan (godlike law-giver).

Setelah memiliki wewenang tunggal membuat hukum, negara memiliki wewenang tunggal untuk menegakkan hukum (law enforcement) dan melakukan kekerasan. Hanya standar yang digunakan oleh negaralah yang dapat menentukan jenis dan tingkatan kekerasan apa yang dapat diterapkan untuk pihak yang melawan kehendak negara. Dengan demikian, konsep kedaulatan telah memberikan kekuatan koersif kepada negara.

Menurut Hallaq, konsepsi negara modern tentang kedaulatan dan segala implikasi di belakangnya berbeda secara diametral dengan konsepsi pemerintahan Islam. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintahan Islam tidak bertumpu pada negara, tapi lebih pada komunitas (umat). Dalam tradisi Islam, posisi umat menggantikan posisi negara dalam negara bangsa modern. Umat sendiri tidak memiliki kedaulatan dan keinginan politik dan hukum yang bersifat otonom karena dalam Islam kedaulatan terletak pada Syariah. Dalam tradisi Islam, pemerintahan Islam terikat oleh kedaulatan yang berada di luar dan lebih tinggi daripada dirinya sendiri.

Hallaq menjelaskan lebih jauh tentang konsep kedaulatan dalam tradisi Islam. Dalam bidang hukum, sarjana Muslim percaya bahwa Tuhanlah satu-satunya pembuat aturan (God is the sole Legislator, al-Syari huwa Allah). Ini menunjukkan bahwa bagi sarjana Muslim, Tuhanlah yang memiliki kedaulatan. Kedaulatan tersebut superior dan berada di atas otoritas politik pemimpin.

Baca Juga  Bangunan Bersejarah: Bentuk Lain Biografi Manusia

Dalam bidang politik, dalam sejarah Islam pra modern, semua institusi tersubordinasi secara epistemologis di bawah Syariah. Tidak ada institusi yang memiliki kewenangan absolut. Inilah yang menjadi alasan mengapa peran eksekusi dan administrasi yang dimiliki penguasa (sultan, khalifah, amir) sangat kecil dan minimal terutama jika dibandingkan dengan konsep negara modern.

Dalam tradisi Islam, penguasa hanya hanya berperan sebagai eksekutor. Hukum dan peraturan semuanya berasal dari Syariah yang lahir dari interpretasi para ulama. Para ulama-lah yang menjadi pemimpin sipil yang sebenarnya. Mereka berperan sebagai pendidik sekaligus penentu norma masyarakat, bukan negara.

Hal lain yang penting adalah hukum dan aturan yang dirumuskan oleh para ulama tersebut tidak memiliki sifat kemutlakan. Hal ini dikarenakan oleh sifat interpretasi itu sendiri yang selalu mengandalkan probabilitas (Arab: zan). Selain itu, para ulama sendiri bukanlah entitas tunggal. Mereka memiliki perbedaan pandangan antara satu dengan yang lainnya. Itulah mengapa sejarah Islam memiliki keragamaan mazhab fikih yang memanifestasikan pluralisme norma hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Ini juga menandai ketiadaan absolutisme aturan di dalam pemerintahan Islam. Tidak ada aturan atau hukum yang bisa memonopoli klaim kebenaran di tengah masyarakat.

 Moral dan Hukum Positif: Keterpisahan antara Nilai dan Fakta

Perbedaan konseptual kedua menurut Hallaq antara pemerintahan Islam dan negara modern adalah terkait dengan pandangan mengenai moral dan hukum positif. Negara modern mengenal dualisme atau keterpisahan antara nilai dan fakta. Bagi negara modern fakta tidak harus memiliki nilai dan nilai tidak harus selalu ada dalam fakta.

Dalam istilah filsafat etik, ini disebut sebagai dikotomi antara “apa yang seharusnya (Ought)” dan “apa yang terjadi (Is)”. Negara hanya bisa mengakui fakta atau apa yang terjadi (Is) yang belum tentu sejalan dengan nilai atau apa yang seharusnya (Ought). Hallaq mengatakan bahwa karakter esensial dari epistemologi hukum positif yang dibuat oleh negara adalah penolakan akan adanya hubungan antara hukum faktual (law as it is) dan hukum berlandaskan nilai (law as it ought to be).

Adanya keterpisahan antara nilai dan fakta sebenarnya adalah fenomena modern yang lahir dari filsafat barat. Ini bisa ditelusuri jejaknya pada dualisme dalam filsafat Descartes (Cartesian dualism). Menurut Descartes (w. 1650) pikiran dan jasad tidak harus sejalan. Pikiran bersifat immateri, sementara jasad bersifat materi dan keduanya terpisah. Ini kemudian dilanjutkan oleh Thomas Hobbes yang memisahkan antara etika atau moralitas dari agama. Menurutnya, moralitas yang menjadi norma di tengah masyarakat berasal dari fakta yang dicerna oleh nalar (pikiran manusia) bukan dari agama. Fakta adalah sesuatu yang bersifat objektif dan bisa terlepas dari nilai (devoid of value). Karena bersifat objektif, maka ia dipelajari dan diketahui oleh perangkat analitis (analytical apparatus) tanpa melibatkan tuntutan moral. Inilah yang juga kemudian melahirkan sains objektif atau apa yang disebut sebagai sains murni (pure science) yang terlepas dari nilai.

Filsafat dualistik ini kemudian diterjemahkan ke ranah hukum positif oleh John Austin (w. 1859). Ia berpendapat bahwa hukum, terlepas apakah sejalan dengan moral atau tidak, dapat disebut valid dan merepresentasikan kedaulatan negara.  Ia juga berpendapat bahwa hukum dan soal kepantasan atau ketidakpantasan (merit or demerit) adalah dua hal yang berbeda.

Baca Juga  Mengkritik dan Membela Musnad Imam Ahmad

Lagi-lagi, kata Hallaq, pendapat demikian bukan hanya berasal dari Austin, tetapi juga diamini oleh ahli hukum dan filosof Barat yang lainnya. Ini sudah menjadi semacam “western weltanschauung” (pandangan hidup Barat) dan “the fiber of modern moral philosophy” (serat filsafat moral modern). Charles Taylor, pemikir Barat kontemporer terkemuka yang memperjuangkan sekulerisme, bahkan menulis bahwa keterpisahaan antara nilai dan fakta (the fact/value split) telah menjadi tema dominan di abad dua puluh di Barat.

Hal yang sangat penting untuk dicatat, Hallaq mengingatkan, perbedaan “apa yang seharusnya” dan “apa yang terjadi” ini tidak ada dalam bentuk apapun, bahkan tidak terpikirkan (unthinkable) dalam konsep pemerintahan Islam. Sumber ajaran Islam dan tradisi Islam selalu menekankan kesatuan dan kesamaan keduanya.

Dalam Islam, semua eksistensi adalah kesatuan (all existence is a unity). Oleh karena itu, dalam turas Islam, pembedaan antara hukum dan moral tidak pernah dikenal. Bahkan, kata Hallaq, istilah moral sendiri tidak ada padanannya dalam tradisi Islam. Hal itu dikarenakan para sarjana Muslim tidak membayangkan moral sebagai satu entitas yang terpisah dari hukum, sehingga memerlukan istilah yang spesifik. Apa yang dikategorikan sebagai hukum (legal) dalam al-Quran dan Syariah juga adalah moral, begitu pula sebaliknya.

Al-Quran sejak awal telah menyediakan kepada umat Islam kosmologi (pengetahuan tentang alam semesta) yang didasarkan pada nilai dan moralitas. Hallaq menyebut contoh tentang penjelasan al-Quran mengenai fisika (alam materi). Narasi al-Quran tentang alam fisik bukanlah semata objek penjelasan rasional, tapi gambaran spiritual yang mendorong manusia untuk lebih dekat kepada Tuhannya.

Dengan kata lain, hukum al-Quran tentang alam semesta adalah bersifat moral spiritual, bukan fisikal. Contoh lain yang disebut oleh Hallaq adalah berkenaan dengan kehidupan sosial dan ekonomi. Al-Quran menyebutkan fakta sosial berupa sifat miskin dan kemiskinan. Fakta ini dalam konsepsi Islam tidak dapat dipisahkan dengan nilai moral berupa kewajiban bagi orang yang mampu untuk menolong dan hak bagi orang yang misikin untuk menerima bantuan.

Kembali ke persoalan pemerintahan Islam. Dalam sejarah Islam, tidak dikenal adanya hukum yang dipisahkan dari nilai-nilai agama. Para fukaha (ahli hukum) yang merumuskan norma-norma aplikatif untuk kemudian diterapkan oleh lembaga eksekutif (penguasa) dan yudikatif (pengadilan) selalu bertindak berdasarkan nilai-nilai moral yang berasal dari sumber ajaran Islam. Hallaq menyatakan bahwa siapapun yang mengklaim bahwa ada dikotomi dan distingsi antara nilai dan moral dalam Syariah dan tradisi Islam sebenarnya telah memproyeksikan perspektif barat saat membaca ajaran Islam.

 Globalisasi dan Moral Ekonomi

Perbedaan ketiga antara negara modern dan pemerintahan Islam menurut Hallaq adalah terkait dengan tatanan dunia dan paradigma ekonomi yang diciptakannya. Negara modern telah melahirkan tatanan dunia yang bernama globalisasi. Globalisasi sebenarnya adalah fenomena modern yang tidak ada presedennya di masa lalu. Globalisasi ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara yang lokal dan global. Sesuatu yang bersifat lokal bisa menjadi global dan peristiwa global selalu mempengaruhi yang lokal. Hal yang demikian tidak terjadi di masa lalu.

Baca Juga  Narasi-narasi Dua Jiran: Hubungan Malaysia-Indonesia dari Perspektif Personal

Menurut Hallaq, ada tiga aspek dalam globalisasi yang semuanya inheren dalam proyek negara modern, yaitu militerisme dan imperialisme, industri budaya, dan lahirnya pasar dunia yang kapitalis dan liberal. Singkatnya, sistem negara modern telah menciptakan dominasi politik (militer), budaya, dan ekonomi oleh negara-negara kaya dan kuat terhadap negara-negara yang lebih lemah.

Dari tiga aspek tersebut, Hallaq lebih banyak memfokuskan deskripsinya pada aspek ekonomi. Hallaq menjelaskan bagaimana negara modern sejak awal memiliki andil dalam sistem globalisasi ekonomi yang membawa ideologi liberal dan merugikan negara-negara yang lemah. Hallaq menyebutkan contoh tentang peran negara dalam lahirnya sistem korporasi dalam ekonomi modern.

Peran negara bisa memiliki dua bentuk, yaitu menciptakan korporasi atau paling kecil membuat regulasi yang mengizinkan korporasi beroperasi. Apapun bentuk perannya, negaralah yang melanggengkan sistem korporasi ini. Negara, misalnya, menciptakan dan membiarkan perusahaan besar baik nasional ataupun multinasional beroperasi di tingkat lokal secara massif dan agresif sehingga memangsa usaha kecil menengah milik masyarakat.

Tujuan korporasi sendiri hanya satu, yaitu untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan. Hal itu dicapai sekalipun harus menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dan tidak manusiawi. Sistem korporasi melihat manusia sebagai objek produksi dan konsumsi. Sistem inilah yang bertanggungjawab terhadap eksploitasi buruh, kemiskinan struktural, rusaknya alam, dan lingkungan.

Semua dampak buruk yang diakibatkan oleh globalisasi tersebut sekali lagi tidak dapat dipisahkan dari proyek negara modern. Globalisasi lahir dari rahim negara modern yang kedua-keduanya kemudian berkolaborasi sekaligus berkontestasi satu sama lain dalam menciptakan dunia yang sepenuhnya material (preeminently material world of Fact).

Negara modern ikut mempromosikan identitas manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) yang keinginannya hanyalah keuntungan materi. Ini jelas sangat bertentangan dengan konsep Islam yang ingin menciptakan homo economicus yang bermoral. Dalam konsep Islam, dalam mencari harta dan keutungan, Muslim homo economicus selalu terkait dengan tanggungjawab sosial. Harta yang diperoleh berasal dari dan hanya untuk Allah. Muslim harus memberikan hak-hak orang yang tidak mampu. Hak-hak tersebut melekat pada harta kekayaan orang kaya.

Dalam Islam melakukan perniagaan yang menghasilkan kekayaan besar yang dapat digunakan untuk meningkatkan gaya hidup dan kehidupan yang mewah hukumnya boleh (mubah). Tapi kebolehan itu diikat oleh syarat di mana kehidupan seseorang harus dijalankan sesuai dengan nilai-nilai agama. Sifat seperti kejujuran, kesopanan, dan transaksi yang adil harus menjadi nilai yang dijunjung tinggi.

Namun demikian ada dua hal yang juga harus dipenuhi, yaitu hak Allah dan hak sesama manusia. Setiap penghasilan yang melebihi kebutuhan pokok harus disalurkan sebagai zakat, sedekah, wakaf, dan sebagai nafkah kepada keluarga besar. Selain itu, kata Hallaq, komitmen untuk mencari harta tidak boleh lebih besar daripada komitmen untuk meningkatkan kualitas moral. Komitmen yang terakhir ini harus dibuktikan dengan jihad atau upaya sekuat tenaga, bukan hanya slogan semata.

Hallaq menegaskan bahwa sifat moral yang melekat dalam konsep Islam mengenai ekonomi tidaklah bersifat kebetulan (incidental) dan tidak berada di pinggiran (at the margin). Sifat moral tersebut sangat paradigmatik. Prinsip dasar terkait perolehan harta dan kepemilikan kekayaan dalam Islam diatur oleh hubungan timbal balik antara kepentingan spiritual, metafisik, dan duniawi.

* Alumni PCIM Mesir dan saat ini menjadi anggota PCIM Amerika Serikat

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *