Tajdida

Laki-laki Bukanlah Pemimpin Bagi Perempuan

4 Mins read
Oleh: Wahyu Fahrul Rizki*

 

Setelah publikasi dua karya monumental Fatima Mernissi dan Amina Wadud, sarjana muslim asal Maroko dan Amerika, berjudul Women and Islam; 1991 dan Qur’an and Woman: 1999, hampir tidak ada gugatan baru terkait “status laki-laki dalam keluarga”, kecuali hanya mengulang-ngulang apa yang sudah ada. Tulisan ini pun tidak lebih dari percikan atas gugatan Mernissi dan Wadud. Memberikan gambaran, apakah benar bahwa laki-laki bukanlah pemimpin bagi perempuan.

Saya akan memulai diskusi ini dengan salah satu ayat yang kerapkali disalahpahami atau disalahgunakan oleh golongan “pendakwah” masa kini untuk menjustifikasi sikap mereka yang sewenang-wenang terhadap perempuan atau disebut juga sebagai ayat-ayat misoginis.

Berikut ini bunyi ayat 4:34;

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan (faddala) sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah (qanita) lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (wadribuhunna). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Dalam ayat ini saya akan mengangkat lima isu krusial–qawwamun, faddala, qanita, nusyuz dan wadribuhunna–yang kerapkali dikampanyekan secara serampangan, misoginis, tanpa kajian mendalam tentang bagaimana itu digunakan secara kontekstual di masyarakat.

Untuk mendiskusikan kelima isu tersebut, saya kira tidak cukup adil jika membahasnya dalam tulisan singkat ini, terutama berkaitan dengan hadis-hadis misoginis yang  insya Allah, nantinya akan muncul beberapa tulisan selanjutnya.

Baca Juga  "Ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah" dan 9 Langkah Ijtihad Muhammadiyah

Dalam tulisan ini saya akan menitikberatkan pada salah satu dari lima isu di atas, yaitu qawwamun. Dengan demikian, akhir tulisan ini akan dikemukakan analisis singkat mengapa (dalam keluarga) laki-laki bukanlah pemimpin bagi perempuan.

Asbabun Nuzul Ayat 4:34

Secara historisitas ayat ini terkesan problematik. Terkait dengan pelaku (by whom) dan mengapa seorang istri ditampar atau dipukul oleh suaminya (why). Bahkan Thabari (w. 923M) sendiri–yang dianggap sebagai salahsatu tafsir paling awal dari kesejarahan Islam yang hampir seluruh riwayatnya dinisbatkan dari generasi kedua umat Islam(tabi’in)–juga tidak menjelaskan demikian.

Thabari hanya menyebut-nyebut bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan “seorang suami yang menampar istrinya, kemudian dilaporkan kepada Nabi Muhammad tentang perbuatan suaminya itu dan Rasul memutuskan untuk qishash”. Tidak lama kemudian turunlah ayat ini dan Nabi pun bersabda “aku menghendaki sesuatu, namun Allah menghendaki lain”. (At-Tabari, 1969)

Mufasir sesudahnya, seperti Ibn Katsir (w. 1373M) dan Suyuti (w. 1505M) juga merujuk pada riwayat yang sama. Namun pada perkembangannya mereka menambahkan dengan rincian yang lebih lengkap. Misalnya dalam kisah yang diungkapkan Thabari tidak menyebutkan nama perempuan ataupun suaminya dan juga tidak memberikan kriteria nusyuz dan mengapa itu terjadi. Sementara versi setelahnya memberikan berbagai kemungkinan, seperti pemberian nama yaitu Habibah binti Zaid bin Zuhair dan suaminya Sa’ad bin Rabi’ bin Amr.

Tulisan ini tidak mempersoalkan ketidakjelasan historisitas ayat ini. Namun yang ingin dikatakan bahwa ayat ini tidaklah berkenaan dengan “kempemimpinan laki-laki terhadap perempuan”, melainkan “prosedur penanganan perselisihan dalam rumah tangga”. Inilah salah satu alasan, mengapa laki-laki bukan pemimpin bagi perempuan, jika merujuk pada ayat 4:34.

Baca Juga  Berburu Lailatul Qadar di Tengah Pandemi

Laki-laki Bukanlah Pemimpin Bagi Perempuan

Dalam Al-Quran, kata qawwamun merupakan bentuk jamak dari qawwam yang diambil dari kata qama yang umum diartikan “berdiri” atau “penegak”. Tafsir tradisionalis pada umunya memahami qawwamun sebagai “pemimpin”. Sama seperti penafsiran Depatemen Agama RI edisi 1971.

Untuk memahami qawwamun secara linguistik. Kita dapat membedakan istilah-istilah khusus yang Al-Quran sendiri terlihat konsisten menggunakan fenomena tertentu. Misalnya, jika yang diungkapkan laki-laki dan perempuan dilihat dari sisi “biologis” maka Al-Quran kerapkali menggunakan istilah al-dzakar untuk laki-laki dan al-untsa untuk perempuan.

Sementara, jika yang hendak diutarakan laki-laki dan perempuan dari sisi “beban sosial” maka Al-Quran kerapkali menggunakan istilah al-rijal untuk laki-laki dan al-nisa’ untuk perempuan.

Pembedaan yang dilakukan Nasaruddin Umar dalam penelitiannya (disertasi) tersebut, dapat dipahami bahwa qawwamun dalam ayat 4:34 tidaklah dipahamai sebagai pemimpin biologis. Melainkan pemimpin beban identitas-sosial, karena ayat ini diawali istilah al-rijal dan al-nisa’.

Pertanyaan adalah apa rukun atau parameter qawwamun sebagai beban sosial?

Amina Wadud memberikan parameter yang cukup jelas, yaitu seorang laki-laki dapat dianggap sebagai pemimpin, jika dapat membuktikan, tidak hanya dari segi ekonomi tetapi juga spritual, moral, intelektual dan bertanggung jawab. Tapi kemudian, jika hal ini tidak dapat dibuktikan, maka laki-laki bukanlah pemimpin bagi perempuan. Bahkan Khaled Abou Fadl (pemikir asal Kuwait) memberikan konsekuensi yang keras daripada Wadud, yaitu mengkudeta atau mengambil alih kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.

Pertayaan yang kemudian tersisa adalah bagaiman jika rukun/parameter tersebut dapat dibuktikan oleh keduanya (laki-laki dan perempuan)?

Maka jawaban yang tepat bukan lagi pemimpin, melainkan “penjagaan” dan “perlindungan” satu sama lain. Menuju keluarga yang damai tanpa membeda-bedakankan jenis kelamin, keunggulan sosial, dan terlebih lagi kemampuan seseorang dalam mencari nafkah.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Industri 4.0: Menyiapkan Keadaban Islam Progresif (Bagian 2)

Qawwamun: Dari Teks ke Konteks

Sebelum ayat ini diturunkan, Nabi sendiri sempat menolak perbuatan suami Habibah dan menuntut untuk qishash. Namun karena ayat ini diturunkan kepada masyarakat Arab yang pada dasarnya tidak siap menerima prinsip-prinsip kesetaran dan di dalamnya memuat sistem sosial yang patriarkis, diskriminatif dan bersifat pembeda laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Maka wajar jika perbedaan ini tercermin di dalam Al-Quran.

Tetapi pada perkembangannya menjadi persoalan, jika ungkapan-ungkapan ini tersebut terus diadopsi sebagai dalil hukum. Di mana kultur masyarakat Arab jauh berbeda di masa sekarang, terutama masyarakat Indonesia yang mulai sadar terhadap modernitas.

Maka dalam hal ini qawwamun tidak lagi dipahami sebagaimana ayat ini diturun. Tetapi dapat dipahami sebagai “penjagaan” dan “perlindungan” (bukan pemimpin). Dengan demikian, seorang laki-laki tidak memiliki superioritas atas perempuan. Melainkan keduanya dapat berdiri bersama dan memiliki kesetaraan yang absolut.

Lebih jauh lagi, jika ada regulasi yang kerap mendiskriminasi perempuan, seperti larangan berinvestasi, bekerja di luar rumah, belajar dan sebagainya, maka itu bukanlah produk Al-Quran, melainkan produk budaya Arab jahiliyah. Karena pada dasarnya tidak ada yang membeda-bedakan satu sama lain (Q.S. 49:13). Bahkan Al-Quran sendiri mendukung kesetaraan status perempuan dan mengangkat mereka pada tingkat kewibawaan spiritual yang sama dengan laki-laki.

“Itulah alasan mengapa laki-laki bukanlah pemimpin bagi perempuan”.

 

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga; Kajian Ilmu Hukum dan Pranata Sosial Islam

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds