Inspiring

Biografi Singkat Prawoto Mangkusasmito: Guru Muhammadiyah Menjadi Ketum Partai Masyumi

3 Mins read

Biografi singkat Prawoto Mangkusasmito yang lebih dikenal sebagai tokoh politik Islam ini menjelaskan hubungannya dengan Muhammadiyah. Dikenal sebagai Ketua Umum Partai Masyumi terakhir sebelum dibubarkan oleh rezim Orde Lama, Prawoto sebenarnya tumbuh dan berkembang dari kultur Muhammadiyah.

Biografi Singkat Prawoto Mangkusasmito

Lahir di Tirto, Grabag, Magelang, pada 4 Januari 1910, Prawoto Mangkusasmito adalah putra dari Supardjo Mangkusasmito dan Suendah. Menempuh Pendidikan dasar di Hollands Inlandsche School (HIS) pada tahun 1917 dan melanjutkan ke Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO) selesai pada tahun 1928. Ketika belajar di MULO Magelang, Prawoto berkenalan dengan Jusuf Wibisono, Wilopo, Mohammad Sardjan, dan lain-lain.

Jusuf Wibisono adalah tokoh teras Partai Masyumi sejak 1949-1956. Ia juga masuk dalam jajaran Kabinet Sjahrir III (1946-1947) dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Setelah Partai Masyumi dibubarkan—pada masa kepemimpinan Prawoto Mangkusasmito—Jusuf Wibisono bergabung ke Partai Syarikat Islam Indonesia.

Adapun Wilopo di kemudian hari menjadi tokoh teras di Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia juga masuk dalam jajaran Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), Kabinet Hatta (1950), Kabinet Sukiman (1951-1952), dan menjadi Perdana Menteri pada periode 1952-1953. Sedangkan Mohammad Sardjan, di kemudian hari, menjadi tokoh teras Partai Masyumi. Ia juga duduk dalam jajaran Kabinet Wilopo (1952-1953).

Pendidikan dan Pernikahan

Menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada 1928, Prawoto melanjutkan studi lanjutan di Algemene Middlebare School (AMS) Bagian B di Yogyakarta sampai lulus pada 1931. Nah, selama menempuh studi di AMS, Prawoto indekos di rumah Sudjiman Harjotaruno di Pakualaman. Salah satu putri pemilik kos bernama Rabingah telah memikat hati Prawoto muda.

Gayung bersambut, Rabingah pun tertarik pada sosok Prawoto yang begitu tekun belajar. Sudjiman Harjotaruno, ayah Rabingah yang juga pemilik kos, tidak berkenan melihat putrinya “pacaran.” Setelah berdiskusi dengan sang istri (Rubinem), Sudjiman memutuskan membawa Rabingah dan Prawoto ke Penghulu (dinikahkan).

Baca Juga  Catatan Kecil Tentang Pak Dasron Hamid (4): Memilih Muhammadiyah, Sangat Peduli Generasi Muda

Dalam tradisi Jawa, pernikahan Prawoto dan Rabingah disebut sebagai “nikah gantung.” Apa maksudnya? Ternyata, sekalipun telah resmi menjadi suami-istri, rupanya Prawoto masih bertekad untuk menempuh pendidikan tinggi di Batavia. Sedangkan sang istri memilih bekerja di Dapertement van Neiverheid yang konon dengan gaji yang cukup tinggi.

Pernikahan Prawoto dan Rabingah sejak 1932 memasuki periode pendudukan Jepang, kedua pasangan ini baru mendapat karunia anak pertama pada tahun 1943. Artinya, selama kurang lebih sebelas tahun Prawoto dan Rabingah dimungkinkan tidak langsung bergaul layaknya suami-istri.

Guru Muhammadiyah

Sebelum melanjutkan studi di Recht Hoge School (RHS), Prawoto memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu, yaitu mengajar di MULO-Netral di Kebumen. Berdasarkan penelitian Rizal Zulkarnain (2005: 19), sekolah tempat mengajar Prawoto adalah salah satu Amal Usaha milik Muhammadiyah setempat. Dengan demikian, Prawoto sebenarnya berstatus sebagai “guru Muhammadiyah.”

Sejak 1935-1942, Prawoto menempuh pendidikan tinggi di RHS Batavia. Konon, biaya pendidikan Prawoto banyak disokong oleh sang istri. Namun demikian, Prawoto tidak berpangku tangan. Ia menempuh studi sambil bekerja mengajar di salah satu sekolah di Batavia. Lagi-lagi, sekolah di Batavia tempat mengajar Prawoto adalah salah satu Amal Usaha milik Muhammadiyah setempat.

Itulah fakta historis berdasarkan kesaksian Sri Sjamsiar, putri Prawoto Mangkusasmito dengan Rabingah yang lahir pada tahun 1943. Dengan demikian, sosok Prawoto Mangkusasmito yang dikenal sebagai tokoh penting di Partai Masyumi, sebenarnya berasal dari kultur Muhammadiyah.

Ketum Partai Masyumi

Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum terakhir Partai Masyumi yang menanggung beban sejarah paling berat dalam sejarah politik umat Islam di tanah air. Partai Masyumi bersama Partai Nasional Indonesia (PNI) telah memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di tanah air pada tahun 1955.

Baca Juga  Perjuangan Gus Dur Mewujudkan Kesetaraan Gender

Bersama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Masyumi paling getol memperjuangan aspirasi umat Islam dengan menempuh jalur perjuangan politik untuk memasukkan unsur-unsur ajaran Islam ke dalam sistem konstitusi nasional.

Perdebatan-perdebatan keras di forum-forum Konstituante telah mengerucut pada dua kekuatan besar: Islamis dan Nasionalis. Seiring perubahan konstelasi politik nasional, perdebatan-perdebatan dalam sidang-sidang Konstituante sebenarnya sangat dinamis sampai memasuki tahun 1959.

Tetapi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, berakhirlah Konstituante. Pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin menggantikan Demokrasi Parlementer, telah mengubah kekuasaan menjadi totaliter. Respon partai-partai berasas Islam seperti Partai Masyumi dan Partai Syarikat Islam Indonesia, sangat keras mengritik kebijakan Bung Karno yang menghendaki bersatunya kekuatan Nasionalis, Agamis, dan Komunis (NASAKOM).

Ternyata, tidak hanya partai-partai Islam saja yang menentang NASAKOM, Partai Katolik di bawah pimpinan I.J Kasimo juga menentang kebijakan ini

***

Dalam pandangan partai-partai Islam, jalannya pemerintahan Demokrasi Parlementer hingga Demokrasi Terpimpin di Indonesia dinilai telah menjauh dari nilai-nilai moralitas Islam. Apalagi dengan menguatnya kelompok nasionalis dan komunis semakin menyudutkan kelompok Islam.

Kebijakan politik Bung Karno yang memadukan kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) semakin memperkeruh konstelasi perpolitikan di tanah air. Beberapa tokoh Muslim merespon kebijakan Bung Karno dengan menggerakkan perlawanan secara politik lewat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan tokoh-tokoh Nasionalis merespon dengan perlawanan pula lewat Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi.

Dalam kasus PRRI, tokoh-tokoh Partai Masyumi yang terlibat antara lain: Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap. Konflik terus meruncing antara kelompok Muslim dengan Nasionalis dan Komunis sampai pada puncaknya keluar kebijakan penyederhanaan sistem kepartaian lewat Penetapan Presiden No. 7/1959.

Baca Juga  Agus Edy Santosa (1): Bermula dan Berakhir di Muhammadiyah

Salah satu partai umat Islam yang menjadi sasaran bidik kebijakan Bung Karno adalah Partai Masyumi. Kasus keterlibatan tokoh-tokoh partai ini dalam pemberontakan PRRI menjadi dalih pembenaran untuk membubarkan Partai Masyumi yang pada waktu itu dipimpin oleh Prawoto Mangkusasmito.

Demikian biografi singkat Prawoto Mangkusasmito.

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *