Dalam hitungan kalender Masehi, Aisyiyah tahun ini telah genap berusia 103 tahun (dalam hitungan kalender Hijriyah 106 tahun). Telah terbukti eksis melintasi dinamika zaman sejak pertama kali didirikan pada 1917 hingga kini. Sejak pertama kali didirikan, organisasi Aisyiyah memang telah didesain sebagai gerakan perempuan modernis.
Dalam istilah keren generasi kekinian, “tamplate organisasi” ini memang kelewat modern. Istilah “modern” pada waktu itu mungkin lebih tepat disebut dengan istilah “kemajuan.” Dalam konteks bermuhammadiyah saat ini, gerakan kemoderenan itu diungkapkan dengan istilah “Islam Berkemajuan” yang sudah menjadi brand organisasi ini.
Paling tidak, ada empat argumen historis Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam modernis pada waktu didirikan. Keempat argumen tersebut menjadikan tamplate organisasi Aisyiyah dinilai modern sebelum istilah modernis itu sendiri populer di telinga masyarakat Hindia-Belanda (baca: Indonesia) pada waktu itu.
Pertama, Nama Aisyiyah
Kok yang dipilih figur Aisyah, istri Rasulullah SAW paling muda dan terkenal akan kebernasan pikirannya? Jika nama Muhammadiyah dipilih sebagai bentuk penisbatan kepada Nabi Muhammad SAW, Sang Nabi Akhir Zaman (Muhammadiyah berarti “pengikut Nabi Muhammad SAW”), maka pemilihan nama Aisyiyah berarti menisbatkan kepada tokoh bernama Aisyah, istri Nabi SAW.
Dengan menisbatkan kepada nama Aisyah (Aisyiyah), maka gerakan perempuan ini ingin menjadi pendamping Muhammadiyah (pengikut Nabi Muhammad SAW). Tentu bukan suatu kebetulan pemilihan nama ini. Sebab, dalam rekaman historis merujuk pada sumber penelitian Ahmad Adaby Darban (2000), konon sempat diusulkan beberapa nama lain sebelum akhirnya mengerucut pada satu nama tersebut.
Pada tahun 1917, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah telah mengadakan pertemuan yang dihadiri antara lain: Kiai Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin, Haji Mochtar, dan Ki Bagus Hadikusuma. Hadir dari kelompok pengajian Sapa Tresna antara lain: Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah. Pertemuan HB Muhammadiyah memutuskan pembentukan organisasi perempuan.
***
Sebelum diputuskan, terdapat perdebatan menarik seputar nama yang akan digunakan. Sumber Adaby Darban (2000) menyebutkan bahwa sempat muncul usulan untuk mengajukan nama ”Fatimah,” terinspirasi dari nama putri Rasulullah. Tidak disebutkan secara pasti siapa yang mengusulkan nama tersebut. Akan tetapi, beberapa Pengurus Besar Muhammadiyah belum sepakat dengan nama tersebut.
Haji Fachrodin mengusulkan nama ”Aisyah,” terinspirasi dari nama istri Rasulullah. Dengan berargumentasi mengambil nama dari istri Nabi Muhammad SAW yang bernama Aisyah, maka pengikut Aisiyah disebut ”Aisyiyah.” Dan seluruh Pengurus Besar Muhammadiyah, termasuk Kiai Ahmad Dahlan, sepakat dengan nama tersebut. Demikian informasi yang berhasil digali oleh sejarawan Ahmad Adaby Darban ketika mewawancarai salah seorang pelaku sejarah Aisyiyah, Ibu Siti Badilah Zuber (wawancara tanggal 13Mei 1980).
Cukup menarik argumentasi Haji Fachrodin ketika memilih nama Aisyah. Dengan nama tersebut, ia berharap agar organisasi perempuan yang akan dibentuk dapat berdampingan dengan Muhammadiyah, seperti halnya kedudukan Aisyah dan Rasulullah. Jadi, kedudukan Aisyiyah dan Muhammadiyah itu selevel dan saling melengkapi. Dengan argumen historis Aisyiyah ini diharapkan supaya organisasi ini dapat membawa anggota-anggotanya untuk meneladani karakter Aisyah sebagai pribadi yang dikenal cerdas dan cakap.
Kedua, Pemilihan Ketua Pertama
Perlu diketahui, ketua Aisyiyah pertama bukanlah Siti Walidah, istri KH Ahmad Dahlan. Juga bukan Siti Busyro atau Siti Aisyah, keduanya putri KH Ahmad Dahlan. Sebenarnya, dengan memanfaatkan otoritas dan kharisma KH Ahmad Dahlan, bisa saja pada waktu itu beliau menunjuk istrinya atau salah satu di antara putri-putrinya untuk memimpin organisasi Aisyiyah. Akan tetapi, pemilihan ketua Aisyiyah pertama benar-benar atas pertimbangan rasional, yaitu: kompetensi. Inilah salah satu argumen historis Aisyiyah sebagai gerakan perempuan modernitas. Terbukti, dari para tokoh perintis Aisyiyah yang terpilih adalah Siti Bariyah.
Lalu, siapakah sebenarnya Siti Bariyah? Dia adalah salah satu di antara putra-putri Haji Hasyim Ismail yang berjumlah 8 orang. Merujuk pada manuskrip Haji Hasyim Ismail, Bariyah bersaudara dengan Jasimah, Daniel (Syujak), Jazuli (Fachrodin), Hidayat (Ki Bagus Hadikusuma), Zaini, Munjiyah, dan Walidah. Mereka inilah yang dikenal sebagai “Bani Hasyim” Kauman—merujuk pada istilah yang digunakan Pak AR Fakhruddin untuk menyebut anak-anak Haji Hasyim Ismail yang semuanya mengabdi dan berjuang di Muhammadiyah.
***
Siti Bariyah binti Haji Hasyim Ismail bersama Siti Wadingah dan Siti Dawimah pada tahun 1913 menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan atas arahan KH Ahmad Dahlan. Langkah KH Ahmad Dahlan yang menganjurkan anak-anak perempuan di Kauman masuk sekolah umum merupakan gagasan baru yang sesungguhnya masih sangat sulit diterima oleh masyarakat setempat.
Meskipun mendapat kecaman dari masyarakat setempat, Khatib Amin tetap mendidik dan menjaga anak-anak gadis yang dianjurkannya menuntut ilmu di sekolah Belanda. Lewat perkumpulan pengajian Sapa Tresna, mereka dibina dan dididik dengan materi pelajaran agama Islam. Perkumpulan pengajian perempuan Islam pertama di kampung Kauman bernama Sapa Tresna inilah yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ’Aisyiyah (Junus Anies, 1968: 20).
Pada tahun 1917, setelah mendapatkan kader-kader perempuan yang dipandang memiliki kecakapan di bidang kepemimpinan, HB Muhammadiyah menggelar rapat pembentukan organ sayap perempuan Muhammadiyah. Dalam proses pembentukan Muhammadiyah Bahagian ‘Aisyiyah, Siti Bariyah, lulusan Sekolah Netral, dipercaya sebagai ketua (president) pertama (Pimpinan Pusat Aisyiyah, t.t.: 23). Dia sebagai lulusan Neutraal Meisjes School dan aktivis pengajian Sapa Tresna dipandang memiliki wawasan dan kecakapan khusus dalam memimpin salah satu orgaan di Persyarikatan Muhammadiyah ini.
Ketiga, Prinsip Kesetaraan
Bukan merebut peran, tetapi kampanye kesetaraan. Kurang lebih itulah salah satu motivasi berdirinya Aisyiyah. Kampanye kesetaraan Aisyiyah untuk mendapatkan hak-hak sebagaimana kaum laki-laki. Dan kaum isteri (baca: perempuan)—representasi gerakan Aisyiyah—menanggung kewajiban yang sama dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Point ini menjadi salah satu argumen historis Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam modernis.
Hal ini dapat dilacak dalam dokumentasi Isteri-Islam yang terbit sejak 1925. Media massa ini adalah cikal bakal majalah Suara Aisyiyah, orgaan resmi Aisyiyah. Pada halaman muka tertulis nama ISTERI-ISLAM. Bahasa yang digunakan sudah seluruhnya berbahasa Melayu. Di pojok atas sebelah kiri tertulis: ”Isteri-isteri itoe moesti mendapat sebagaimana mereka diwadjibkan (kepada laki-lakinja). Al Qoeran.” Di pojok atas sebelah kanan tertulis: ”Kaoem Islam laki-laki dan kaoem Islam isteri sebagian menoeloeng sebagiannja, sama menjoeroe dengan kebaikan dan melarang daripada kedjelekan. Al Qoeran.”
Sampai Isteri-Islam berubah menjadi Suara Aisyiyah terbitan tahun pertama (1927), pada nomor edisi 4 dimuat artikel menggunakan huruf Latin bahasa Jawa, ”Deradjading Tijang Estri Wonten Ing Agami Islam,” menyerukan betapa penting kedudukan kaum perempuan dalam memajukan agama Islam. Dengan merujuk pada sirah nabawiyah dan sabda-sabda Nabi SAW ditegaskan bahwa hak-hak kaum perempuan setara dengan laki-laki.
Maka orgaan resmi Aisyiyah sejak masih bernama Isteri-Islam hingga menjadi Suara Aisyiyah saat ini telah berperan besar lewat proses kampanye kesetaraan hak-hak dan kewajiban dalam beragama. Sampai kini, Suara Aisyiyah yang telah berusia 93 tahun (1927-2020) masih konsisten menyuarakan kesetaraan hak-hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki.
Keempat, Pemberdayaan
Gerakan pembaruan KH Ahmad Dahlan sebenarnya ternyata tidak hanya fokus pada kaum laki-laki saja, karena beliau juga menaruh perhatian besar terhadap kualitas dan kehidupan kaum perempuan pada masanya. Dalam pandangan Kiai Dahlan, kaum perempuan memiliki hak-hak sepadan dengan kaum laki-laki dalam berpartisipasi memajukan agama dan masyarakat.
Untuk mewujudkan generasi perempuan yang sadar akan potensinya untuk berperan aktif setara dengan kaum laki-laki dalam memajukan agama dan masyarakat, maka langkah strategis yang ditempuh Kiai Dahlan adalah dengan menyelenggarakan pendidikan. Sebenarnya, semua gerakan pengajian yang digagas Kiai Ahmad Dahlan, khususnya dengan objek kaum perempuan, adalah bentuk proses pemberdayaan potensi-potensi kaum perempuan yang terkubur akibat sistem budaya feodal-patriarkhis dan paham keagamaan yang jumud pada waktu itu.
Gagasan tentang kesetaraan perempuan di wilayah pendidikan dan dakwah Islam, dimulai ketika KH Ahmad Dahlan dan istrinya mengusahakan pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman. Modal utamanya dari cursus belajar membaca al-Quran yang diperuntukkan bagi gadis-gadis Kauman yang masuk Sekolah Netral.
Konon, surat yang diajarkan pertama kali kepada kaum perempuan adalah al-Ma’un. Murid-murid cursus diajak agar peka terhadap fenomena kemiskinan yang hampir marak di kalangan umat Islam. Pintu hati mereka diketuk untuk memberikan pertolongan kepada kaum fakir-miskin. Bentuk-bentuk pertolongan sesuai dengan kemampuan. Yang kaya membantu dengan uang. Yang tidak cukup kaya, tetapi sehat, dianjurkan membantu dalam bentuk tenaga. Bagi yang pintar dianjurkan membantu dalam bentuk sumbangan pikiran. Demikian seperti yang disampaikan Siti Badilah Zuber dalam artikel, “Tarich Moehammadijah dan ‘Aisjijah” di Soeara Aisjijah edisi nomor 9-10/Oct 1940 halaman 38-39.
***
Ada tahapan transformasi kesadaran dalam proses pengajian (pendidikan) bagi kaum perempuan yang diselenggarakan oleh KH Ahmad Dahlan dan istrinya pada waktu itu. Pada fase awal gerakan pengajian, kaum perempuan memang masih menjadi objek penyadaran sehingga terbentuk komunitas terdidik yang terbuka mata hati dan pikiran mereka bahwa mereka setara dengan kaum laki-laki dalam memperoleh hak-hak dan memikul kewajiban beragama (juga bermasyarakat). Setelah generasi perempuan terdidik telah terbentuk, maka merekalah yang menjadi subjek (aktor) gerakan pemberdayaan perempuan di masyarakat Hindia-Belanda pada waktu itu.
Perlu diketahui, membaca argumen historis Aisyiyah periode awal memang harus dengan pendekatan sejarah. Jika tidak kita bisa gagal paham karena tidak mengikuti nafas zamannya. Sungguh! Bisa-bisa kita akan terjebak pada persepsi yang mungkin “salah tempat,” tidak relevan, atau “gagal paham” dalam istilah kekinian.
Misalnya ketika muncul pertanyaan seperti ini: apa spesialnya nama Aisyiyah? Sekarang kan sudah banyak nama-nama yang lebih keren! Pertanyaan seperti ini jelas tidak tepat karena mencampur-aduk nafas zaman. Dulu, dengan keterbatasan akses literatur keislaman yang progresif, memilih nama Aisyiyah sebagai representasi kesetaraan dan simbol kemajuan kaum perempuan bukanlah hal yang mudah. Tapi para aktivis Muhammadiyah dan Sapa Tresna pada waktu itu sudah mampu menjangkau pikiran progresif semacam itu.
***
Jika ada pertanyaan, apa spesialnya pemilihan ketua Aisyiyah berdasarkan kompetensi seseorang? Bukankah itu sudah biasa-biasa saja untuk saat ini? Lagi-lagi pertanyaan semacam ini mencerminkan orang yang gagal paham dalam memahami fakta historis. Dahulu, kebiasaan umat masih mengutamakan model kepemimpinan oligarki, baik karena hubungan kekerabatan atau faktor lainnya.
Tetapi ketika diputuskan Siti Bariyah sebagai ketua pertama Aisyiyah, sebenarnya dalam alam pikiran para aktivis Muhammadiyah dan Sapa Tresna pada waktu itu sudah mengalami lompatan paradigma yang cukup jauh ke depan (visioner). Bahwa kepemimpinan sebuah organisasi modern memang harus berdasarkan kompetensi, bukan asal pilih atau asal suka.
Atau ketika muncul pertanyaan, apa istimewanya prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan? Bukankah istilah ini sudah jamak terdengar di mana-mana? Nah, ini juga sebuah kekeliruan persepsi. Sebab dahulu, ketika sistem sosial dan budaya feodal-patriarki masih kuat, kaum perempuan ibarat “makhluk kelas dua.” Levelnya dianggap di bawah kaum laki-laki. Jangankan menyuarakan kesetaraan, mengambil secuil peran saja sudah dianggap tabu. Seperti ketika Kiai Ahmad Dahlan menganjurkan gadis-gadis Kauman untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda. Tapi komitmen kuat sang kiai telah membuahkan hasil hingga kini.
***
Kemudian istilah pemberdayaaan bagi kaum perempuan. Bukankah hampir semua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), khususnya yang didirikan kaum perempuan, punya visi dan misi pemberdayaan? Hampir dapat dipastikan, istilah “pemberdayaan” sudah bukan sesuatu yang spesial untuk saat ini. Ingat ya, istilah ini memang sudah tidak spesial lagi pada saat ini, tapi pada awal abad ke-20, ketika kaum perempuan dianggap sebagai makhluk yang hidupnya di area domestik, kosa kata “memberdayakan (berdaya)” atau “memajukan” kaum perempuan masih sangat langka, malah mungkin dianggap tabu.
Terlebih lagi ketika gerakan pemberdayaan kaum perempuan diwujudkan dalam agenda-agenda nyata seperti pendidikan (pengajaran), tabligh (dakwah), santunan sosial (panti asuhan, panti jompo), kesehatan (menjadi perawat, dokter), dan lain-lain, istilah tersebut menjadi sangat fenomenal pada zamannya.
Itulah empat argumen historis gerakan Aisyiyah yang kelewat modernis pada waktu didirikan. Jika tidak karena tamplatenya yang sangat kokoh, mustahil gerakan ini mampu melintasi dinamika zaman di negeri ini sejak era kolonial, memasuki masa kemerdakaan, berperan aktif pada masa pembangunan (Orde Lama dan Orde Baru), hingga saat ini.
Editor: Yahya FR