Khulafa’ Al-Rasyidin
Secara sederhana, istilah Khulafa’ Ar-Rasyidin berarti “para penerus yang benar”. Bila merujuk pada sabda Nabi Saw “Khilafah (yang ideal dan Islami) hanya berjalan selama 30 tahun, setelahnya hanyalah dinasti dan kerajaan” maka benarlah jika Al-Suyuthi, dalam Tarikh al-Khulafa (hlm. 14), meyakini bahwa yang dimaksud dengan tiga puluh tahun di atas adalah periode khalifah empat; Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Mengapa disebut al-rasyidin (yang benar)? Sangat mungkin itu karena kekhalifahan mereka membawa rahmat (H.R. al-Bazzar 4/1282). Lalu, mengapa keberadaan khulafa ar-rasyidin sangat penting sebagai teladan kepemimpinan?
Satu-satunya jawaban adalah bahwa kepemimpinan yang mereka emban dapat diterima semua pihak (ijtama’at alaihi al-ummat). Penerimaan masyarakat terhadap kepemimpinan Khulafa’ Ar-Rasyidin mencerminkan dua hal; karakter kepemimpinan yang dapat diterima semua kalangan, dan cara suksesi yang selalu ditandai dengan stabilitas negara.
Tulisan ini hendak mengambil pelajaran dari sejarah suksesi kepemimpinan di era Khulafa’ Ar-Rasyidin sebagai sejarah awal sistem kepolitikan Islam.
Suksesi yang Menyatukan
Sejarah yang termaktub dalam Tarikh At-Tabari (3/203-221) mencatat bahwa suksesi kepemimpinan di era Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali terjadi tidak dengan menciptakan “polarisasi” di tengah masyarakat. Hal ini berbeda dengan kepemimpinan pasca keempatnya, yang mana konflik dan kekerasan bahkan yang berdarah-darah, seringkali menandai terjadinya suksesi kepemimpinan.
Hubungan antara Muhajirin dan Anshor hampir pecah pasca wafatnya Nabi SAW. Kubu Anshor, pada saat itu, berkumpul dan berinisiatif untuk membaiat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin. Kabar perkumpulan orang Anshor diketahui oleh Abu Bakar dan proses suksesi sebelah pihak itu dihadang oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar datang dan bertanya “apa-apaan ini?”, Anshor menyampaikan pandangan bahwa mereka harus dipimpin orang Anshor sendiri sementara Muhajirin juga harus memilki pemimpin sendiri dari kaumnya. Semangat partisanisme kaum Anshor dibaca oleh Abu Bakar dan diredam dengan komunikasi politik yang cerdas.
Peristiwa itu berakhir dengan persatuan Muhajirin dan Anshor. Adalah karena kepiawaian Abu Bakar mempersuasi kelompok Anshor dengan narasi historis persatuan antara kedua kaum. Selain itu, Abu Bakar juga menggunakan cara distribusi kekuasaan; bahwa posisi pemimpin ada di tangan Muhajirin sementara pos-pos wazir diisi oleh kelompok Anshor. Pendekatan politik yang demikian memicu penerimaan oleh kubu Anshor sehingga menghasilkan tetap solidnya relasi masyarakat Islam pada saat itu.
Bayangkan jika konflik kepolitikan semacam itu diselesaikan dengan ego politik yang tidak diredam. Misal saja, apa jadinya bila komunikasi yang digunakan Abu Bakar adalah cara yang ofensif, misal mengancam kaum Anshor dengan pedang agar tunduk pada Muhajirin. Bisa jadi jika Abu Bakar menggunakan politik kekerasan kepada kaum Anshor, keterbelahan antara Muhajirin dan Anshor akan semakin tajam. Polarisasi antara Muhajirin dan Anshor dapat menjalar kepada konflik-konflik horisontal yang kemungkinan besar menghadang laju perkembangan masyarakat Islam. Tetapi, untungnya, itu semua tidak terjadi di masa Abu Bakar memimpin, karena ia tahu betul akan pentingnya persatuan daripada sekadar keributan akibat jabatan pemimpin.
Konstitusi Negara Lebih Penting dari Pemimpin
Ketika Abu Bakar berhasil membuat kaum Anshor mau berkompromi, Umar bersegera mengatakan “Buka tanganmu hai Abu Bakar, aku membaiatmu sebagai pemimpin!”. Bukannya langsung menerima baiat, Abu Bakar justru menunjuk Umar untuk jadi khalifah. Tetapi pada saat itu Umar tahu diri bahwa Abu Bakar lebih kompeten dan menolak menjadi khalifah. Setelah Umar menyatakan baiat kepemimpinan Abu Bakar, kaum Anshor berbondong-bondong membaiat Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah yang meneruskan kepemimpinan umat Islam.
Bakda disahkan sebagai khalifah oleh seluruh umat Islam, Abu Bakar menyampaikan pidato politiknya. Di dalam orasinya, ia menekankan bahwa konstitusi negara pada saat itu ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia memberikan kondisi; selama kepemimpinannya sesuai konstitusi tersebut, maka ia harus ditaati. Sebaliknya, jika ia melenceng dari konstitusi, maka ia melarang rakyat menaatinya. Penekanan yang sama juga diulang-ulang oleh Umar, Utsman, dan Ali dalam pidato politik mereka (Muhibbin, 1996, 43-48).
Karakter kepemimpinan seperti itulah yang kemungkinan menjadi alasan Nabi SAW membatasi khalifah yang ideal hanya ada dalam tiga puluh tahun sepeninggalnya. Letak idealnya ada pada kesadaran seorang pemimpin terhadap pentingnya stabilitas masyarakat dan terselenggaranya konstitusi negara. Kedua hal tersebut lebih penting daripada sekadar jabatan pemimpin dan kekuasaan.
Khulafa’ Al-Rasyidin: Seperti Apapun Suksesinya, Stabilitas Masyarakat Lebih Utama
Sementara suksesi dari Abu Bakar kepada Umar terjadi dengan cara penunjukkan, suksesi khilafah kepada Utsman dan Ali menggunakan cara yang berbeda. Utsman dipilih berdasarkan keputusan sejumlah tim formatur (majelis syura). Dari Utsman kepada Ali, suksesi terjadi dengan spontan di tengah kekacauan akibat adanya pembunuhan Utsman; saat itu mayoritas masyarakat Islam langsung membaiat Ali sebagai pemimpin.
Pembaca dapat melihat pola dipilihnya Abu Bakar menjadi khalifah sebagai proses aklamasi; diprakarsai oleh Umar kemudian disusul penerimaan semua kalangan. Sedangkan proses suksesi kepada Umar terjadi dengan pola penunjukkan langsung oleh Abu Bakar menjelang wafatnya. Baik Abu Bakar ataupun Umar, kepemimpinan di era keduanya relatif tidak ada masalah internal masyarakat yang serius. Ini disebabkan oleh kharisma kepemimpinan yang mereka bawakan.
Berbeda halnya dengan era Utsman dan Ali yang konflik internal umat Islam muncul dan semakin pelik karena semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam. Kendati demikian, masyarakat Islam di era Utsman maupun Ali dapat dikatakan cukup stabil.
Stabilitas umat Islam pada waktu itu, utamanya, adalah hasil para khulafa’ yang melaksanakan kepemimpinan mereka sesuai dengan konstitusi negara. Mereka tidak mengadakan konstitusi baru. Jika ada problem hukum, mereka akan mengandalkan ijtihad jika solusinya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihaddilakukan demi menemukan solusi yang tidak tekstual tetapi kontekstual sesuai kebutuhan masyarakat.
Cara-cara berpolitik khulafa’ ar-rasyidin yang demikian bijak layak diambil perlajarannya. Para calon pemimpin Muslim perlu meniru teladan politik yang dicontohkan para penerus Rasulullah SAW tersebut. Jabatan kepemimpinan tidak selayaknya dijadikan kepentingan personal dan mengorbankan maslahat masyarakat secara umum. Persaingan suksesi pemimpin bukan ajang perang horizontal antar calon pemimpin dan para pendukungnya. Konstitusi negara di atas segala kepentingan politik kekuasaan.
Itulah fragmen sejarah yang menampilkan cara politik sunnah versi Khulafa’ Ar-Rasyidin. Iya sunnah! Karena Rasulullah pernah membuat kategorisasi sunnah Nabi dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin. “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapat hidayah! Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham kamu semua” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Radhiya Allāhu ‘an khulafā ar-Rāsydin
*Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes.ID & INFID
Editor: Yahya FR