Ibadah

Jadikan Puasa Ramadan Sumber Meraih Karakter Takwa

12 Mins read

Ramadhan datang lagi! Segala syiar pertanda keagungannya menjadi “pernak-pernik” dalam menyambut kehadirannya. Para siswa diwajibkan membuat poster gebyar Ramadhan dengan segala bentuk ekspresi kegembiraan dalam bentuk tulisan dan gambar yang menyertainya; para santri pengajian dan remaja masjid mengkoordinir seluruh komunitasnya dalam beberapa desa bahkan satu kecamatan untuk memeriahkan penyambutan bulan Ramadhan dengan aksi “seribu obor Ramadhan”; begitu juga dengan pengurus masjid dan mushalla (serta surau) yang menggerakkan jamaah dan masyarakat untuk bergotong-royong bahu-membahu membersihkan masjid dan mushalla serta membersihkan semua perangkat yang dipakai selama bulan Ramadhan; aparat desa dan masyarakat pun di komando Kades membersihkan pekarangan desa, pemakaman umum (guguk dalam bahasa Siulak), serta pekarangan rumah masing-masing; dan para politisi semua tingkat serta partai politik tidak mau ketinggalan, mereka memasang poster besar, spanduk segala ukuran untuk “mempertontonkan” diri sebagai kandidat terbaik pemilu (hati pilu) 2024 dan partai yang selalu menyertai kata “merakyat” di setiap simpang dan di depan rumah warga.

Begitu tingginya ekspektasi semua kaum beriman terhadap hadirnya Ramadhan. Tapi mengapa Rasulullah Saw mengatakan: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. An-Nasa’i). inilah yang perlu menjadi bahasan dan kajian. Sebagai Allah menjelaskan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa..” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dari konteks tersebut di atas, ritual puasa sesungguhnya bukan hanya pada perilaku tidak makan, minum dan hubungan seks di siang hari yang bersifat fisik. Akan tetapi harus dimaknai dengan kesadaran dengan meningkatkan spiritualitas puasa pada level yang bersifat psikis dan rohaniah. Sehingga ibadah puasa tidak hanya sekedar menahan rasa lapar, dahaga dan nafsu birahi belaka. Untuk hal tersebut diperlukan pemaknaan atas ketentuan syariat ibadah puasa secara maknawiyah agar tercapai “misi” puasa untuk meraih karakter takwa.

Hakikat Ibadah

Supaya ibadah tidak hanya terbatas ritual dan ritus material-fisikal, maka harus diawali dengan memahami apa itu hakikat ibadah?

Hakikat ibadah adalah ketundukan jiwa yang timbul dari karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri’tikad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya.

Pengertian lainnya, bahwa hakikat ibadah adalah memperhambatkan jiwa dan mempertundukkan-Nya kepada kekuasaan yang gaib yang tak dapat diliputi ilmu dan tak dapat diketahui hakikatnya.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: ibadah itu, ialah suatu pengertian yang mengumpulkan kesempurnaan cinta, tunduk dan takut.

Pendapat lainnya mengatakan, bahwa pokok ibadah itu, ialah: tiada engkau menolak sesuatu hukum  Allah, tidak engkau meminta sesuatu hajat kepada selain-Nya, dan tidak engkau mau menahan sesuatu di jalan-Nya.

Sebagian orang Arif mengatakan, bahwa pokok ibadah itu, ialah: Engkau meridhai Allah selaku pengendali urusan; selaku orang yang memilih; engkau meridhai Allah selaku pembagi, pemberi, penghalang  (penahan) dan engkau meridhai Allah menjadi sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah). (Ash-Shiddieqy, 1991: 7-9)

Inti dari hakikat ibadah adalah ketundukan hati sang hamba atas segala syariat yang diamanahkan kepada pundaknya sebagai “penyembah” terhadap Allah sebagai yang di sembah. Yang proses ritual dan ritus dalam kekudusan dengan kesadaran spiritual dari kebersihan hati dan pikiran yang berwujud perilaku yang otentik dalam hidup.

Pengaruh Puasa Terhadap Jasmani dan Rohani

Dr. Sulaiman Azmi mengatakan bahwa: para dokter telah mengkaji berbagai hal medis terkait puasa secara detail dan tidak ada hal baru yang dapat disampaikan. Kami telah merangkum dari apa yang telah disampaikan oleh media cetak maupun radio dalam beberapa poin pokok yang dapat disimpulkan bahwa puasa tidak akan membahayakan secara mutlak bagi orang yang sehat.

Sebaliknya, puasa justru akan memberi faedah kesehatan bagi sebagian orang. Jika orang yang berpuasa mengalami gangguan (kejahatan) karena puasanya, maka sesuai tuntunan agama dan medis, sebaiknya tidak perlu berpuasa. banyak ayat yang menjelaskan hal ini begitu juga ada sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah mencintai agar keringanan darinya diberikan sebagaimana kesungguhan darinya diberikan.”

Barangkali gangguan akibat tidak menuruti resep kesehatan dalam makan atau berlebihan dalam makan akan menyebabkan kesulitan dalam pencernaan. Selain itu, juga dapat disebabkan karena berlebihan dalam menyantap berbagai jenis makanan yang sulit dicerna atau pedas di perut.

Ada sebuah hadis yang menjelaskan, “Tidak ada wadah yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya.” Puasa hendaknya merupakan sikap menahan dari rakus dan ambisi yang dapat menyebabkan bahaya yang fatal bagi tubuh. dan agar orang yang berpuasa tersebut terhindar dari bahaya, maka dia seharusnya berbuka puasa dengan sedikit makanan untuk menghilangkan rasa lapar, lalu setelah menjalankan salat, mulai menyantap makanan secara wajar.

Saya menemukan informasi dari surah bahwa Nabi berbuka puasa dengan makanan yang segar. jika tidak ada, maka beliau akan berbuka dengan kurma. dan jika tidak ada kurma beliau akan berbuka dengan sop. Sesungguhnya kedokteran tidak sekedar berkaitan dengan tubuh manusia namun juga terkait dengan kondisi personal dan sosial seseorang dan masing-masing saling melengkapi dan menyempurnakan.

Baca Juga  QS Al-Baqarah 183: Cara Meraih Predikat Takwa

Dari sisi emosional, bulan Ramadan adalah bulan kesabaran dan ketabahan jauh dari kemarahan dan gejolak-gejolak emosi, serta naiknya martabat menuju norma-norma mulia. sehingga bulan Ramadan menjadi bulan kejernihan dan hidayah bagi jiwa. selain itu juga membangkitkan nurani, melatih kuatnya keinginan, dan jauh dari pamer.

Tidak ada yang melarang untuk makan secara sembunyi bagi orang yang sedang berpuasa dan berpura-pura puasa karena pamer. Kuatnya keinginan dan ketaatan yang baik akan menjaganya dari semua itu.

Adapun pengaruh puasa dari sisi akhlak adalah menuntut manusia untuk saling memperlakukan satu sama lain dengan baik, tidak melakukan perseteruan dan kemarahan. Jika ada yang mengejek ketika anda berpuasa, maka katakanlah padanya, “Aku sedang berpuasa.”

Puasa dapat berpotensi untuk menjauhkan manusia dari kedustaan dan kebohongan serta menghiasinya dengan kemuliaan. Hadis nabi menjelaskan, “Siapa yang tak meninggalkan perkataan dusta dan justru melakukan hal itu, maka Allah tak membutuhkan aktivitasnya yang telah meninggalkan makan dan minumnya.” Rasulullah juga bersabda, “Ada kalanya orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus.” Sudah pasti bagiku bahwa hadis ini dimaksudkan bagi orang-orang yang tidak berperilaku dengan akhlak mulia baik secara ucapan dan perbuatan.

Adapun efek puasa dari sisi sosial sudah jelas dan gambling. Misalnya dengan adanya saling mengunjungi, Berbuat kebaikan, saling menyayangi, serta menyambung kekerabatan, dan persahabatan. Selain itu, juga dapat menyebabkan spirit kasih sayang, tolong-menolong, dan keakraban di antara manusia.

Bulan Ramadan juga memberikan efek dari sisi ekonomi karena pada bulan Ramadan dan masa sebelum maupun sesudahnya, barang-barang laku secara signifikan yang membenarkan ungkapan orang-orang “Ramadan Karim” atau (Ramadan mulia) atau bulan penuh keleluasaan (jalan keluar).

Dari semua itu sudah jelas bahwa bulan Ramadan mempunyai suasana yang khusus. Setiap orang mengekspresikan aura Ramadhan dengan berbagai hal yang telah kami sampaikan. Masjid menjadi ramai, ulama memberikan ceramah kepada masyarakat tentang hal-hal yang baik bagi agama dan dunia, ada keakraban yang lepas bagi para tetua dan kebahagiaan maupun kegembiraan nampak pada para anak kecil. ini adalah suasana yang memberikan keindahan yang mengumpulkan berbagai efek yang telah disebutkan.  Semua itu penuh dengan pemandangan yang memikat, dan tersebarlah kebaikan maupun norma-norma dalam masyarakat. (Al-Jurjawi, 2015: 232-234)

Dari penjelasan di atas, puasa memberikan pengaruh kepada diri yang berpuasa, baik secara jasmai dan rohani, serta juga memiliki efek yang besar dari sisi sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga ibadah puasa tidak hanya ritus dan ritual belaka, akan tetapi memiliki subtansi yang bersifat fisik, psikis dan rohani bagi kamu beriman yang melaksanakan puasa.

Pengaruh Puasa bagi Kesehatan Jiwa (Mental/Psikologis dan Sosial)

Ditinjau dari segi ilmiah puasa dapat memberikan kesehatan jasmani maupun rohani. Dua buah buku yang ditulis oleh dokter Alan Cott, doktor ahli dari Amerika tentang manfaat puasa berjudul “Fasting as a Way of Life” dan “Fasting the Ultimate Diet”. Kalau pengertian puasa dalam Islam adalah menahan diri (dari nafsu makan, minum, seks) sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, maka pengertian puasa menurut Cott agak beda. Dalam pengertian Cott puasa masih boleh minum air. dengan demikian, kita tentunya harus berhati-hati atas kesimpulan Cott.

Dari kedua buku yang telah disebut di atas diceritakan antara lain bagaimana keterkaitan antara puasa dengan gangguan kejiwaan.

Pertama, gangguan jiwa yang parah dapat disembuhkan dengan berpuasa. Dr. Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Moskow (The Moskow Psykiatric Institute) mencoba menyembuhkan gangguan kejiwaan dengan berpuasa. Dalam usahanya itu, ia menerapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama 30 hari (persis puasa orang Islam dalam jumlah harinya).

Nivolayev mengadakan penelitian eksperimen dengan membagi subjek menjadi dua kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya penyakit yang diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan ramuan obat-obatan. Sementara kelompok kedua diberi diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologis.

Dari eksperimen itu diperoleh hasil yang sangat baik yaitu banyak pasien-pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik ternyata bisa disembuhkan dengan puasa. Selain itu kemungkinan pasien untuk tidak kambuh kembali setelah 6 tahun kemudian, ternyata sangat tinggi. Lebih dari separuh pasien tetap sehat (Cott, 1977: 74-75).

Penelitian yang dilakukan oleh Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di rumah sakit Grade Square, New York juga menemukan hasil yang sejalan. Pasien sakit jiwa ternyata bisa sembuh dengan diterapi puasa, (Cott, 1977: 76-77).

Ditinjau dari segi penyembuhan kecemasan dilaporkan juga oleh Alan Cott bahwa penyakit seperti susah tidur, merasa rendah diri, juga dapat disembuhkan dengan puasa.

Kedua, adanya percobaan psikologi yang membuktikan bahwa berpuasa mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang. Hal ini dikaitkan dengan prestasi belajarnya. Ternyata orang yang rajin berpuasa dalam tugas-tugas kolektif memperoleh skor yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berpuasa.

Di samping dua hasil penelitian di atas, puasa juga memberi pengaruh yang besar bagi penderita gangguan kejiwaan seperti insomnia, yaitu gangguan mental yang berhubungan dengan tidur.  Penderita penyakit ini sukar tidur, namun dengan diberinya cara pengobatan dengan berpuasa, ternyata penyakitnya dapat dikurangi bahkan dapat sembuh.

Baca Juga  Bisakah Ramadhan Menyelamatkan Indonesia?

Ada penelitian yang menarik perhatian bahwa berpuasa dapat meningkatkan rasa percaya kepada diri sendiri yang lebih besar, konsep diri yang optimis, yang merupakan indikasi adanya mental sehat dan tidak rapuh menghadapi tantangan hidup yang semakin besar.

Dari segi sosial pun puasa memberikan sumbangan yang tidak kecil artinya. hal ini bisa kita lihat dari kendala-kendala yang timbul di dunia. Di dunia ini ada ancaman kemiskinan yang melanda negara dunia ketiga khususnya. Hal ini menimbulkan beban mental bagi sebagian anggota masyarakat di negara-negara yang telah menikmati kemajuan di segala bidang.

Menanggapi kemiskinan di dunia ketiga maka di Amerika muncul suatu gerakan yang bernama Hunger Project. Gerakan ini lebih bersifat sosial yaitu setiap satu minggu sekali atau satu bulan sekali mereka tidak diperbolehkan makan. Uang yang semestinya digunakan untuk makan tersebut diambil sebagai dana menolong mereka yang miskin.

Apabila hal ini kita kaitkan dengan dakwah Islam, maka dengan tujuan amal ibadah, puasa yang kita lakukan mempunyai aspek sosial juga, yaitu selama satu bulan kita menyisihkan uang yang biasanya kita belanjakan pada hal-hal yang kurang bermanfaat, Rp 500 misalnya titik dalam satu bulan akan terkumpul sebanyak Rp15.000 untuk satu orang apabila umat Islam yang berpuasa sebanyak 120 juta jiwa, berapa uang yang akan terkumpul dengan metode tersebut?

Hal lain yang dapat kita kaji adalah penghematan waktu bagi mereka yang berpuasa, dalam hal ini bukan waktu untuk mencari nafkah, tetapi yang semestinya untuk makan sewaktu bekerja. Bila berpuasa kita bisa memanfaatkan waktu seefisien mungkin, untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik tanpa memikirkan makan. (Ancok dan Suroso, 1995: 56-59)

Apabila ibadah puasa dinikmati dalam ritus dan ritual yang “terdalam” dengan dimensi spiritual yang hakiki, maka puasa memberi efek bagi kesehatan jiwa, mental/psikologis dan sosial. Tentu sangat rugi apabila puasa hanya bersifat fisikal tanpa naik ketingkat psikis/psikologis, sosialogis hingga terinternalisasi menjadi karakter takwa.

Pengaruh Puasa dalam Penguatan Karakter Takwa

Dr. Hamid al-Khuli berkata, “Orang yang berpuasa merasakan dua kekuatan yang saling berseteru, yakni kekuatan rohani dan jasadi. Kekuatan jasadi adalah dasar konstruksi manusia yang bersifat menggebu dan menekan, sedangkan kekuatan rohani lebih menguasai kekuatan jasadi. Buktinya, kita tidak akan membebani seseorang anak dengan berbagai tuntutan agama yang merupakan produk syariat Allah maupun hukum konvensional kecuali jika dia telah sampai pada usia dewasa. Hasrat kita berpijak dari pengorbanan untuk memenuhi keinginan jasadi. Karena itu, jika seseorang kosong hatinya maka dia akan mengikuti hasrat jasadi dan melepaskan diri dari ikatan syar’i maupun aturan konvensional.

Maka dari itu, orang yang berpuasa akan memonitor dirinya sendiri dan tunduk kepada kekuatan rohani serta menutup jalan bagi hasrat jasadi. Sehingga akan menyuburkan dan memperkuat sifat amanah yang merupakan pondasi awal dari pribadi Rasul di mana kaumnya menjulukinya dengan Al-Amin (yang dapat dipercaya). Orang yang berpuasa melawan keinginan jasadi secara sukarela dan bebas, tanpa motivasi maupun pengawas. Dengan demikian, hal ini menjadi pondasi lain yang membentuk karakter kuat agar seseorang berani mengorbankan nafsunya.

Puasa juga merupakan bentuk ketaatan terhadap ajakan kebenaran, sebab orang yang berpuasa telah menaati Tuhannya secara sukarela dan patuh sehingga berkumpullah sifat amanah dan siap berkorban pada diri orang yang berpuasa. Inilah puasa yang merupakan wahana manusia dalam berbagai hal yang penting. Dan orang yang konsen tentang hal ini, pasti akan menahan gejolak dan nafsu jasadi serta tidak akan menurutinya kecuali sekedar sesuai porsi kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidup. Dan hal ini merupakan latihan pertama bagi para peniti jalan ibadah, zuhud, dan kontineu dalam ibadah. Jika tuntutan jasad adalah kenikmatan duniawi maka puasa merupakan pelita rohani dan nutrisinya sehingga jasad tunduk pada rohani. Puasa adalah jalan agar manusia bisa bermartabat di dunia dan akhirat. Karena posisi puasa yang sangat mulia inilah, maka puasa menjadi syiar semua agama dan syariat. Dan karena posisinya yang tinggi pula Allah mengantributkan puasa bagi diri-Nya sendiri seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis Qudsi, “Semua amal anak Adam itu untuknya. kecuali puasa, maka itu bagiku dan aku sendiri yang akan membalasnya.” Maka dari itu, puasa merupakan pondasi agung dalam membentuk karakter manusia yang kuat. Berbahagialah di dunia dan akhirat wahai orang yang berpuasa.”(Al-Jurjawi, 2015: 230-231)

Bagi manusia kekuatan jasadi dan rohani adalah elantival dalam menguatkan keberlangsungan hidup yang stabil sebagai hamba-Nya yang taat pada syariat Islam. Kedua kekuatan tersebut melahirkan sikap percaya diri dan nenunculkan sifat amanah (Al-Amin). Karakter tersebut terinternalisasi, teraktualisasi dan tertranformasi dalam laku hidup pada dunia nyata, dimana kata tidak mendustai laku. Itulah salah satu ciri manusia yang amanah (Al-Amin), serta menjadi pondasi dari karakter takwa.

Esensi Puasa dalam Membentuk Karakter Takwa

Untuk meraih karakter takwa, tentu kita harus mengetahui apa rahasia yang menjadi esensi puasa yang dapat membentuk karakter takwa. Maka dapat disimpulkan ada 7 macam rahasia ibadah puasa, yakni:

Baca Juga  Memahami Spiritual Shalat Masa Pandemi di Masjidil Haram

Pertama, menunjukkan tabiat bahimiyah kepada tabiat malakiyah dan menghalangi tabiat malakiyah dari dipengaruhi oleh tabiat bahimiyah tidak dapat kita tundukkan tabiat bahimiyah melainkan dengan melemahkan tenaganya dan menambah kuatnya tabiat. Melemahnya tenaga bahimiyah, ialah: dengan menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan kekuatannya. Sebab-sebab itu, ialah: makan, minum dan bergelimang dalam kelezatan syahwat. Inilah sebabnya seluruh orang yang ingin lahirnya tabiat malakiyah dan tersembunyi tabiat bahiniyah, menyedikitkan makanan, minuman dan kelezatan-kelezatan syahwat.

Inilah sebabnya dipandang buruk sekali orang yang berpuasa banyak beragamkan makanan dan memuaskan syahwat makan di ketika berbuka dan bersahur.

Kedua, mendidik para mukmin supaya berperangai dalam sebagian waktunya dengan suatu perangai Allah dengan mendidik mereka menyerupakan diri sekedar mungkin dengan malaikat, yaitu: terlepas dari hawa nafsu.

Ketiga, membiasakan orang yang berpuasa bersabar dan tahan menderita kesukaran.

Menahan diri dari makan dan minum, menimbulkan kekuatan cita-cita dan keindahan sabar serta dapat menahan kesukaran-kesukaran.

Keempat, memperingatkan diri dengan kehinaan dan kemiskinan.

Orang yang berpuasa merasa benar kebutuhannya akan makanan dan minuman. Orang yang membutuhkan sesuatu, dipandang hina terhadap yang dihayati itu. Dan yang demikian itu pula, menimbulkan kemauan menghindarkan diri dari kesombongan dan ketakaburan dan menumbuhkan dalam hati kemauan menggauli manusia dengan lemah lembut dan baik.

Kelima, memelihara jiwa dari tersungkur dalam kancah dosa.

Inilah hikmah Nabi mengatakan: “Barang siapa yang tiada sanggup membelajai isteri, sedang dia mempunyai keinginan beristeri, hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu melenyapkan syahwatnya.”

Keenam, menggerakkan orang kaya kepada merahmati orang yang fakir dan menyelesaikan kebutuhan mereka itu.

Orang yang berpuasa merasai dalam ia berpuasa itu kesukaran lapar dan kepedihan haus. Hal ini dapat menimbulkan dalam jiwanya kemauan memberikan pertolongan kepada orang yang didapati membutuhkan makanan atau minuman. Dan inilah sebabnya dikala orang bertanya kepada Nabi Yusuf: “Lima taju’u wa anta ‘alaa khazaa inil ardli?” (“Mengapa tuan lapar (menahan lapar) padahal tuan memegang perbendaharaan Negara?”). Nabi Yusuf menjawab: “Akhafu an asyba’a fa ansal ja-i’ a’”  (“Saya takut kenyang yang akan menyebabkan saya lupa kepada orang yang lapar.”)

Ketujuh, memperoleh berbagai faedah kelaparan, yaitu: menyalahnya pikiran dan tembusnya penglihatan mata hati. (Ash-Shiddieqy, 1991: 237-238).

Nabi bersabda:

“Barang siapa lapar perutnya, besarlah pikirannya dan cerdiklah jiwanya.”

Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami, bahwa sangat banyak rahasia dari disyariatkannya ibadah puasa. Karakter takwa melalui ibadah puasa akan muncul apabila sang hamba terjauh dari sikap bahimiyah dan dimunjulkannya sikap malakiyah; senantiasa berperangai menyipati malaikat dan memanisfestasikan sifat “Tuhan” yang agung (Asmaul husna); membiasakan sabar dan ketahadan serta ketegaran dalam kekuarangan dan kelaparan; memunculkan perasaan senasib sepenangungan dengan orang miskin dan kekurangan; memelihara jiwa jauh dari kubangan dosa dan kejahatan; ajang silaturahim antara yang kaya dan miskin secara jasadi dan rohani; serta menerangkan mata hati sepanjang hayat.

Manifestasi Karakter Takwa dalam Kehidupan

Karakter takwa lewat ritual ibadah puasa secara subtantif (jasadi dan rohani) serta “ter-instal” melalui pengaruh jasmani, rohani, kesehatan jiwa, mental/psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya, lalu dihayati esensi/rahasia disyariatkannya ibadah puasa dalam pembentukan karakter positif. Maka akan terinternalisasi, teraktualisasi dan tertranformasi karakter takwa dalam pribadi, lingkungan dan kehidupan actual.

Menjadi bertakwa, sebenarnya sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Bertingkah laku sebagai manusia yang berbudaya tinggi. Bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk seluruh alam karena kita adalah khalifah Allah di muka bumi.

Maka manifestasi sifat takwa adalah berbuat baik pada diri sendiri, berbuat baik pada orang lain, berbuat baik pada lingkungan, dan beramal sholeh dengan mengikhlaskan ketaatannya kepada Allah semata. Semuanya berpadu dalam sebuah keseimbangan.

Dalam kaitanya dengan ibadah puasa, maka takwa yang seperti itulah yang dipatok sebagai tujuan. Jadi, puasa yang baik dan berhasil adalah puasa yang membawa dampak pada keempat hal tersebut, yaitu terjadi peningkatan kualitas diri sendiri, peningkatan kualitas hubungan dengan sesama peningkatan kualitas terhadap lingkungannya dan peningkatan kualitas hubungan dengan Allah SWT.

Pada saat seseorang mencapai semua itu, maka sebenarnya dia telah kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang sesungguhnya Insan Kamil manusia yang sempurna.

Apakah tanda-tanda yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan puasa?

1. Badan lebih sehat

2. Emosi lebih rendah

3. Pikiran lebih jernih

4. Sikap lebih bijaksana

5. Hati lebih lembut dan peka

6. Ibadahnya lebih bermakna

7. Lebih tenang dan tawadhu’ dalam menjalani hidup (Mustofa, 2005: 176-177)

Dengan demikian, seiring dengan bertambahnya usia dan berkembangnya pengetahuan dan wawasan tentang Islam, maka sudah saatnya ibadah puasa tidak hanya ritual penggugur kewajiban saja. Akan tetapi lebih diekspektasikan kepada peningkatan kualitas spiritual yang agung di mata Allah. Sebab puasa adalah ibadah rahasia antara sang hamba dan Khaliqnya. Bila hal tersebut dapat dimaknai dengan baik, maka spiritualitas puasa dapat membentuk dan meraih karakter takwa bagi pelakunya.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Ibadah

Mengapa Kita Tidak Bisa Khusyuk Saat Salat?

3 Mins read
Salat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Di dalam Islam, salat termasuk sebagai rukun Islam yang kedua. Sebab, tanpa terlebih dahulu mengimani…
Ibadah

Empat Tingkatan Orang Mengerjakan Shalat, Kamu yang Mana?

4 Mins read
Salah satu barometer kesalehan seorang hamba dapat dilihat dari shalatnya. Dikatakan oleh para ulama, bahwa shalat itu undangan dari Allah untuk menghadap-Nya….
Ibadah

Sunah Nabi: Hemat Air Sekalipun untuk Ibadah!

3 Mins read
Keutamaan Ibadah Wudu Bagi umat Islam, wudu merupakan bagian dari ibadah harian yang selalu dilakukan terutama ketika akan melaksanakan salat. Menurut syariat,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *