Selama ini, kata jihad disalahpahami secara keliru oleh sebagian kalangan, terutama Barat. Jihad, dalam Islam, adalah perjuangan atau usaha yang mulia. Jihad, terutama dalam ranah agama dan etika, pada dasarnya mengacu pada perjuangan manusia untuk mengampanyekan nilai-nilai kebenaran dan mencegah apa yang salah.
Diskursus yang berkembang adalah memang jihad terkait dengan konsep sosio-legal dari syahid (martir). Akan tetapi mensimplifikasi bahwa jihad hanya sebatas peperangan fisik atau kemartiran adalah sebuah kesalahan fatal. Dalam Al-Qur’an, jihad merupakan istilah dengan banyak makna. Selama periode Mekah (sekitar 610–622 M), ketika Nabi Muhammad menerima wahyu berupa Al-Quran di Mekah, penekanan diberikan pada dimensi internal jihad, yang disebut ṣabr, yang merujuk pada praktik “kesabaran” oleh umat Muslim dalam menghadapi persoalan hidup.
Memang tidak dapat dipungkiri, belakangan istilah syahid mengemuka. Syahid (martir) atau kemartiran, khususnya, dalam pengertian militernya, disebut dengan istilah Arab, syahadah, pada abad ke-2 H/ 8 M. Tetapi, Al-Quran, menurut Asma Afsaruddin, tak pernah sekalipun menggunakan terma ini dengan mengacu kepada martir, melainkan hanya digunakan – secara bergantian dengan syahid – untuk menyebut saksi hukum atau saksi mata.
Bentuk jamaknya, syuhada’ pun dimaksudkan untuk menyebut saksi hukum atau saksi mata. Baru dalam sumber-sumber di luar Al-Quran saja, syahid dan syuhada’ memperoleh makna spesifik sebagai “orang yang bersaksi demi iman”, terutama dengan mengorbankan nyawanya. Maka tidak heran jika ragam makna seputar jihad dalam literatur klasik dan terutama yang non legal senada dengan ragam konseptualisasi awal mengenai kemartiran. Kedua konsep tersebut belakangan menjadi sangat terbatas maknanya.
Pengertian Jihad
Al-Quran merupakan titik tolak untuk menyoroti ragam pergeseran konsep jihad dan syahid dalam lingkup Islam. Al-Quran, khususnya, menurut Asma Afsaruddin, menyimpan spektrum semantik dari kata jihad dan kata-kata derivasinya yang perlahan kian tersisihkan atau dikesampingkan dalam banyak literatur kemudian hari.
Jihad dalam Al-Quran merupakan konsep yang polivalen dan sama sekali tidak dapat direduksi ke dimensi kombatifnya saja. Dalam Al-Quran, kata-kata derivasi dari akar kata j-h-d (biasanya terbentuk kata kerja) diartikan sebagai berusaha keras, berjuang, dan berjerih-payah. Senada dengan itu, leksikografer Arab terdahulu menjelaskan kata kerja dasar jahada bermakna berjuang, bersungguh-sungguh, mencurahkan daya dan upaya maksimal. Leksem jihad hanya muncul dua kali dalam Al-Quran.
Al-Quran juga berbicara tentang melaksanakan jihad melalui Al-Quran melawan kaum musyrik Mekah selama periode Mekah (25:52), yang mengisyaratkan perjuangan verbal dan diskursif melawan mereka yang menolak pesan Islam. Pada periode Madinah (622–632 M), ketika Nabi Muhammad menerima wahyu Al-Quran, muncul dimensi baru dari jihad: berperang untuk membela diri melawan serangan kaum musyrik Mekah, yang belakangan disebut qitāl.
***
Dalam literatur selanjutnya—yang terdiri dari Hadis, catatan tentang ucapan dan tindakan Nabi; tafsir mistik Al-Quran; dan tulisan-tulisan mistik dan mendidik lainnya—dua dimensi utama jihad ini, ṣabr dan qitāl, diubah namanya menjadi jihād al-nafs (perjuangan internal dan spiritual melawan nafsu rendah) dan jihād al-sayf (perang fisik dengan pedang). Kedua istilah ini juga masing-masing disebut sebagai al-jihād al-akbar (jihad yang lebih besar) dan al-jihād al-aṣghar (jihad yang lebih kecil).
Selain itu, di luar literatur Al-Quran, jihad biasanya diawali dengan kata sandang al-, sering dibarengi frasa fi sabilillah (di jalan Allah), atau ungkapan lengkapnya al-jihad fi sabilillah (berjihad di jalan Allah). Terjemahan ini menunjukkan polisemi kata jihad dan makna lain yang dapat diletakkan kepadanya dalam konteks yang berbeda-beda, karena frasa “di jalan Allah” memungkinkan usaha keras manusia dalam berbagai cara.
Dua istilah Qurani lainnya yang perlu disinggung, dalam hal ini, adalah qital. Adalah istilah yang digunakan dalam Al-Quran yang terkhusus mengacu pada peperangan atau pertempuran bersenjata dan merupakan bagian dari jihad dalam situasi tertentu. Spesifikasi arti peperangan ditunjukkan secara khusus dalam kata harb yang bermakna perang secara umum.
Al-Quran menggunakan kata yang terakhir ini sebanyak empat kali; sebagaimana digambarkan Asma Afsaruddin, bahwa harb (perang) ditujukan untuk menggambarkan perang yang dikecam karena dilakukan oleh orang-orang yang hendak berbuat kerusakan di muka bumi (QS. 5: 64). Kedua, menerangkan puncak pertempuran antara orang-orang yang beriman dan tidak beriman (QS. 8: 57; 47: 4). Dan dalam kesempatan lain, menyangkut ancaman perang dari Allah dan rasul-Nya terhadap mereka yang masih mempraktikkan riba (QS. 2: 279). Kata “harb” ini tak pernah digunakan dengan frasa “di jalan Allah” dan tidak berkorelasi dengan konsep jihad.
Sabar: Inti Jihad
Dalam amatan Asma Afsaruddin, ada istilah Qurani lainnya yang tidak cukup mendapat perhatian di banyak literatur akademik sebagaimana beberapa istilah yang disebutkan di atas, yakni shabr. Istilah shabr mengacu kepada sifat-sifat sabar, tabah, tegar, mengalah, dan umumnya kita artikan dengan kesabaran.
Mungkin istilah Nusantara yang paling tepat menggambarkan kata sabar ialah ngalah. Istilah ngalah berasal dari masyarakat Jawa. Orang Jawa menyebutnya ngalah (baca: mengalah). Secara semantik, mengalah tidak berasal dari kata kalah, melainkan diambil dari kata Allah. Nga artinya menuju, dan Allah artinya Allah. Jadi ngalah ialah menuju kepada Allah. Artinya, orang yang mengalah pada hakikatnya ia tidak kalah, melainkan ia sedang menuju kepada Allah karena berhasil menanggalkan keegoisan dan keakuannya serta tidak terprovokasi oleh lawan bicara. Filosofi ngalah ini juga dipraksiskan oleh Nabi saw dalam banyak hal dan menjadi ruh perjuangan dalam mendakwahkan Islam tanpa pertumpahan darah.
Kembali kepada sabar, dalam diskursus Qurani, sabar merupakan bagian inti dan wujud dari perjuangan orang-orang saleh; perlawanan aktivis dan quietis terhadap kemungkaran.
***
Sebagai contoh, salah satu ayat Quran (QS. 16: 110) menyatakan: “Mereka yang setelah mengalami penindasan kemudian berhijrah dan berjuang (jahada) serta senantiasa bersabar (shabara), sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada mereka pada hari ketika setiap jiwa datang beriba-iba”. Ayat yang lain juga mengemukakan hal yang sama seperti dalam QS. 47: 31, “Kami akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang sungguh berjuang (al-mujahidin) dan bersabar (al-shabirin) di antara kalian”.
Penggabungan kata turunan jihad dan shabr di sejumlah ayat Al-Quran sangat berarti akan tetapi jarang diulas lebih dalam di banyak tinjauan akademis modern, khususnya Barat, mengenai jihad. Penyebab utamanya, menurut Afsaruddin, adalah karena sebagian besar ulasan modern mengenai konsep ini umumnya terfokus pada kajian hukum Islam seputar jihad sebagai kewajiban utama dalam konteks keamanan negara dan hubungan internasional, terutama dalam sebuah genre hukum yang dalam bahasa Arab disebut siyar.
Implikasinya, makna jihad tereduksi sedemikian rupa oleh para fukaha menjadi salah satu komponen saja, sekalipun penting – yaitu qital atau perang – mendapatkan penekanan berlebihan dalam karya-karya akademik modern tersebut.
Berlainan dengan pendekatan ini, amatan Asma Afsaruddin mengatakan dalam kitab-kitab adab pra-modern yang menyoroti “perjuangan di jalan Allah” dalam berbagai aspek kehidupan di luar arena politik internasional seringkali menguraikan dan mengetengahkan konsep sabar sebagai unsur utama jihad, yang dipahami secara luas sebagai perjuangan manusia di bumi.
Oleh karenanya, diskursus akademik modern yang mengemuka tentang jihad adalah sesungguhnya konseptualisasi jihad sebagai peperangan bersenjata serta syahid sebagai kemartiran militer tidak lain merupakan konseptualisasi yang relatif belakangan dan diperdebatkan (debatable), serta jauh dari pemaknaan Al-Quran terhadap istilah-istilah tersebut. Dalam hal ini, penelaahan ulang dan reformulasi konseptualisasi jihad dan beberapa istilah turunannya adalah sebuah keniscayaan.
Editor: Soleh