Oleh: Andika Setiawan
Keadilan dalam pemerintahan acapkali dipertanyakan oleh sebagian masyarakat/rakyat. Kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat menjadi probelm dan mengakibatkan adanya demonstrasi terutama di kalangan mahasiswa. Tahun lalu kita sempat dibuat terheran-heran dengan pelemahan independensi KPK melalui hukum undang-undang yang ditetapkan (baca di sini).
Mau tidak mau, KPK harus menjalakan undang-undang yang dibuat penguasa itu. Padahal secara tidak langsung KPK merupakan pembela rakyat. Terutama dalam konteks pemberantasan korupsi oleh koruptor yang menggerogoti uang negara yang akan didistribusiakan kepada rakyat.
Keadilan Menurut Thrasymachus
Perdebatan mengenai keadilan sebenarnya sudah ada sejak lama. Dalam Republik karya Plato (buku I), memang ada tujuh tokoh yang ikut berdialog; Socrates, Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephalus, Thrasymachus, dan Clitophon. Namun tidak semua ketujuh tokoh tersebut menyampaikan teori keadilan kepada Socrates. Dan yang menjadi sorotan saya dalam buku itu ialah dialektika antara Socrates dan Thrasymachus.
Thrasymachus merupakan tokoh kaum Sofis yang terkenal karena kepintarannya dan kelicikannya. Tak heran jika pada kala itu kaum Sofis hanya mencari keuntungan lewat gagasan filosofisnya (Plato, 2015: 1).
Dimulai dari dialektika antara Cephalus dan Polemarchus dengan Socrates, yang kemudian membuat Trasymachus geram kepada Socrates. Dengan penuh emosi, bak paruh elang yang mencabik-cabik mangsanya, ia mengkritik secara keras metode yang dipakai Socrates. Menurutnya, metode elegkhos yang dipakai Socrates, hanya banyak memberi pertanyaan-pertanyaan dan selalu memberi sanggahan atas jawaban lawan dialognya.
Ia menduga, Socrates tahu bahwa mengajukan pertanyaan itu lebih gampang dibanding menyediakan jawaban. Selanjutnya Thrasymachus juga menyebut, metode ironi yang dipakai Socrates seperti metode permainan semata. Pasalnya Socrates menanyakan hal yang telah diketahui sebelumnya dan ia pura-pura bodoh (Plato, 2015: 16-19 & Wibowo, 2017: 202).
Tanpa rasa sungkan sedikitpun, ia menyampaikan teori keadilan kepada Socrates dengan menggebu-gebu. Baginya keadilan tidak lain hanyalah kepenting orang yang lebih kuat (Plato, 2015: 21). Menurut Georges Leroux (dalam Wibowo, 2017: 204) teori dari Thrasymachus perlu dibahas, pertama, keadilan hanya menguntungkan bagi penguasa. Kedua, adil merupakan keuntungan yang aku dapatkan.
Teori yang ia ajukan merupakan pandangan jernih atas realitas sosial. Secara frontal, ia juga menyampaikan asal-usul keadilan berasal kekuasaan, dan sejenis dengan itu. Jika diperjelas, makna kekuasaan bisa dimaknai dengan kapitalisme yang telah menggenggam peta perokonomian dunia. Meskipun konteks pembicaraan Trhasymachus mengarah pada soal pemerintahan.
Dan dengan radikal Trhasymachus menolak definisi atau teori lain tentang keadilan yang berasal dari orang lain. Sangat tajam, ia juga menambahkan bahwa apapun yang diputuskan oleh otoritas kekuasaan itulah suatu keadilan (Wibowo, 2017: 204). Tak peduli itu menguntungkan rakyat atau tidak, yang penting untuk keuntungan dirinya terlebih dahulu.
Sikap Plonektik
Lebih lanjut Thrasymachus menjelaskan, pemimpin itu tidak pernah salah. Dan seseorang yang dikatakan pemimpin ialah orang yang tidak pernah salah. Karena baginya pemimpin merupakan orang yang lebih kuat dan berkuasa.
Ini dijelaskan Thrasymachus dengan pengandaian-pengandain seperti ahli juru mudi yang melakukan salah dalam menjalankan pekerjaannya berarti ia tidak dapat dikatakan sebagai ahli juru mudi. Sebutannya sebagai ahli juru mudi hanyalah pemanis dan tidak lebih dari itu (Wibowo, 2017: 205). Cara pandangan yang ekstrim saya kira, karena bagaimanapun juga manusia tempat salah dan dosa. Akan tetapi makna yang ingin disampaikan Thrasymachus ialah pemimpin memang ahli namun seringkali hukum-hukum yang dibuat cenderung menguntungkan pihaknya sendiri.
Thrasymachus menyebutnya dengan plonektik. Plonektik merupakan keingianan yang tidak pernah terpuaskan untuk mengambil keuntungan. Cara yang ditempuh untuk mendapatkannya ialah dengan memanfaatkan kelemahan individu atau komunitas lain demi keuntungannya sendiri. Maka janji-janji yang dilontarkan para pemimpin merupakan pemanis bibir dan sebatas gincu yang menarik perhatian.
Berbicara seni memimpin, Thrasymachus mengolok Socrates dengan apa yang telah ia katakan, kenapa bisa begitu? karena bagi Socrates seni memimpin atau politik merupakan seni yang semestinya melayani orang lain. Atas pernyataan itu olokan Thrasymachus mendarat pada Socrates, bahwa menurutnya Socrates mengartikan hal itu dengan sangat lugu dan naif.
Thrasymachus berpendapat bahwa teknik memimpin ialah wujud daripada hasrat yang tidak pernah terpuaskan, yang hanya berisi kepentingan-kepentingan manusia. Itupun juga dikejar mati-matian. Dari sana Thrasymachus berpandangan, keadilan merupakan sesuatu yang lemah dan buruk (Wibowo, 2017: 207).
Untuk memperkuat argumentasinya, Thrasymachus mengkhayalkan adanya seorang penggembala domba (Platon, 2015: 29). Penggambala mencarikan rumput ke ladang tentu tujuan utama bukan untuk kesejahteraan domba-domba yang dipelihara. Tetapi untuk keuntungan yang didapat dari domba-domba itu sendiri. Dengan banyak memberikan rumput kepada domba-domba yang dipelihara diharapkan domba itu gemuk dan memiliki bulu yang tebal. Penggembala domba seperti hal demikian, memiliki tujuan untuk mendapatkan suatu hasil yang terbaik untuk dirinya (Wibowo, 2017: 208).
Rakyat dan Kepentingan Penguasa
Dia yang lebih berkuasa pasti hanya memanfaatkan para kaum yang lemah. Itu semua dalam rangka untuk mencapai hajat yang ingin diingkan penguasa. Apa yang dikerjakan rakyat hanya untuk kepentingan penguasa. Ibaratnya rakyat hanya sebagai penyedia kebahagiaan penguasa. Dan jauh dari kepentingan rakyat itu sendiri (Plato, 2015: 30). Teori tentang keadilan yang bersifat amoral ini, entah orang setuju atau tidak setuju, dari sudut manapun itu perlu dikaji lebih dalam.
Apa yang dikatakan Thrasymachus kiranya juga ada benarnya, tapi tidak semua begitu adanya. Di tengah-tengah carut-marutnya dan berbagai permasalahan yang menghampiri negeri ini pasti ada pihak yang diuntungkan. Dengan penuh sadar diri, bukan kapabilitas dan otoritas penulis untuk membahas persoalan-persoalan yang semakin runyam itu.
Setidaknya dengan mengetahui secuil teori kedilan dari Thrasymachus ini, kita dapat mengenal pemikiran salah satu tokoh yang sezaman dengan Socrates di era filsafat Yunani klasik.
Tak berhenti di situ saja, modal awal yang didapat dari pemikirannya ialah kita dapat dengan tenang menerima janji-janji manis saat kampanye pemilihan kepala negara, daerah, ataupun desa jika tak ditepati. Karena itu jalan kampanyenya seperti pedagang baju yang mengobral harga yang murah.
*) Sekretaris Bidang Keilmuan PK IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Nabhan