Feature

Membantah Stigma tentang Kerasnya Orang Madura

3 Mins read

Orang Madura – Entah sudah berapa kali saya harus berusaha menikmati proses perkuliahan jarak jauh saat terjadi pandemi Covid-19. Sebab semenjak kuliah jarak jauh dilaksanakan, rasa antusias saya untuk berkuliah tidak sama saat kuliah tatap muka. Namun, ketika perkuliahan mata kuliah sosiologi pengetahuan memasuki pertemuan ke- 11, saya merasakan ada suntikan semangat yang besar untuk mengikuti proses perkuliahan jarak jauh.

Ia bukannya tanpa alasan. Saya bisa menikmati perkuliahan tersebut karena teman saya mempresentasikan hasil bacaan dari buku berjudul Manusia Madura, karangan Mien Achmad Raif. Tentu saja, bagi saya selaku orang Madura, presentasi buku tersebut menjadi hal yang menarik.

Dalam presentasinya, teman saya mempresentasikan masyarakat Madura dari segi karakteristiknya. Kemudian, ada satu poin presentasi yang membuat saya menjadi resah. Saya resah saat teman saya menyatakan dalam presentasinya, jika masyarakat Madura dinilai berdarah panas dan beringas.

Keresahan itu membuat saya mengajukan pertanyaan kepada teman saya, “Apakah masyarakat Madura yang tidak berdarah panas dan beringas, masih bisa dikatakan sebagai manusia Madura?” Teman saya tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab. Teman saya mengatakan, “Terbentuknya penilaian masyarakat Madura yang digambarkan memiliki karakter keras, disebabkan oleh adanya pemberian stigma.”

Selanjutnya, ketika teman saya selesai memberikan jawaban, dosen saya yang mengajar sosiologi pengetahuan memberikan jawaban tambahan. Beliau mengatakan, “Pembentukan stigma kepada masyarakat Madura dibuat oleh orang Belanda saat masa penjajahan. Tujuan Belanda adalah agar bisa menimbulkan perpecahan sesama masyarakat Indonesia.”

Benar saja, usaha pemberian stigma yang dilakukan oleh orang Belanda kepada orang Madura memberikan dampak signifikan sampai sekarang. Semisal dalam hal asmara, laki-laki Madura sering menjadi korban dari stigma yang sudah ada. Sebab, banyak orang tua dari etnis luar Madura, yang menyuruh anaknya untuk tidak menikah dengan laki-laki Madura. Alasannya, yakni laki-laki Madura digambarkan bersifat keras dalam bersikap.

Baca Juga  Perkuat Sisterhood, Semua Elemen Harus Tangani Kekerasan Seksual

Memahami Keras-Lembutnya Orang Madura

Saya sedikit agak risih dengan stigma yang dibuat oleh masyarakat luar kepada orang Madura. Akhirnya, saya harus memberikan ulasan lebih luas mengenai masyarakat Madura, agar pandangan orang luar terhadap masyarakat Madura bisa diluruskan. Sebenarnya orang Madura itu memang keras, tetapi kerasnya bukan keras yang semena-mena.

Sebagaimana yang terdapat dalam salah satu peribahasa Madura, yaitu: ‘kerras polana akerres‘. Peribahasa tersebut menggambarkan jika kerasnya masyarakat Madura karena ada pencapaian jati diri yang ingin dicapai dalam dirinya. Karena bagi masyarakat Madura, bersifat keras bukan menjadi sebuah persoalan, asalkan keras dalam kebenaran. 

Selain itu, masyarakat Madura juga menjunjung tinggi nilai sopan santun di dalam kehidupannya. Kesopanannya bisa dilihat dari perkataan yang sering dilontarkan oleh masyarakat Madura: ‘Bhuppa’, Bhabbu’, Guru, Rato‘. Di dalamnya, ia mengandung arti bahwa sebagai manusia kita harus mampu bersikap patuh kepada orang tua, guru, dan ratu (Tuhan).

Tentunya, perkataan semacam itu sering diimplikasikan dalam tindakan praktis oleh masyarakat Madura. Setidaknya ada dua bentuk tindakan praktis yang dilakukan oleh masyarakat Madura. Pertama, menggunakan bahasa halus (enggi bunten), ketika berbicara dengan guru dan orang tua. Kedua, mematuhi perintah orang tua dan guru, sebagai perwujudan kepatuhan kepada Tuhan.

Masyarakat yang Memiliki Solidaritas yang Tinggi

Kemudian, masyarakat Madura juga memiliki tingkat solidaritas yang tinggi sesama masyarakat Madura. Terbentuknya solidaritas yang tinggi disebabkan hubungan batin yang terbentuk secara tidak sadar. Sebagaimana yang termaktub dalam semboyan ‘Settong dhere, taretan dibhi‘, yang artinya satu darah, keluarga sendiri.

Kehadiran semboyan semacam itu memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat Madura, terutama yang merantau di tanah orang. Meski merantau ke tanah orang, tetapi serasa di tanah Madura. Penyebabnya adalah komunikasi yang terjalin intens sesama masyarakat Madura. Bahkan, tidak jarang ditemukan perkampungan yang isinya didominasi oleh masyarakat Madura.

Baca Juga  Tiga Penyebab Kekerasan di Lembaga Pendidikan

Bukan hanya itu. Tingginya solidaritas sesama masyarakat Madura di tanah rantau, juga ditunjukkan dengan kemurahan hati. Semisal, disaat membeli barang kepada penjual yang sesama orang Madura, akan diberikan harga yang lebih murah. Begitu juga ketika membeli makanan, tanpa harus meminta agar porsinya ditambah, penjual akan memberi porsi lebih banyak ketika mengetahui pembelinya berasal dari Madura.

Pada dasarnya, secara tidak sadar, masyarakat Madura memang menjalani hidup dalam kurungan stigma yang sudah terbentuk sejak zaman dahulu. Hingga akhirnya, sisi kebaikan yang dimiliki oleh masyarakat Madura tidak akan pernah memiliki arti. Sebab, mau bagaimana pun masyarakat Madura akan tetap digambarkan dengan masyarakat yang tidak memiliki nilai positif.

Hal yang harus digaris bawahi adalah kehidupan sekarang dan esok merupakan hasil pengulangan dari masa lalu. Kemudian, pertanyaannya adalah berapa lama lagi masyarakat Madura harus menderita di atas stigma yang tidak adil tersebut?

Editor: Shidqi Mukhtasor
Avatar
8 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Unesa
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds