Ketika mengetahui salah satu buku saya terbit di Amsterdam University Press (AUP), Amsterdam, Belanda, pada tahun 2018, seorang teman berkomentar: “Wah, kamu kaya dong. Royaltinya pasti besar.” Saya tidak tahu persis, komentar tentang menjadi kaya dengan menulis buku itu serius atau sekadar canda.
Namun, sebagai respons, saya hanya tersenyum. Jika komentar tersebut serius, saya tak menyalahkan persepsi seperti itu. Bayangan kaya karena royalti buku yang terbit di Eropa memang lumrah. Mata uang euro yang menjadi alat pembayaran di Eropa menjadi salah satu sebabnya. Buku saya dijual dengan harga 150 euro, yang jika menggunakan kurs Rp. 15.000, misalnya, bisa mencapai Rp. 2.250.000,- per eksemplar.
Jika saya memperoleh royalti 10 persen saja dari nilai itu, berarti sama dengan Rp. 225.000 per buku. Jika buku itu dicetak 2000 eksemplar, lalu berapa jumlah royalti yang saya peroleh? Hitung sendiri!
Imajinasi Menjadi Kaya dengan Menulis Buku
Namun, angka royalti di atas hanyalah imajinasi. Terhadap komentar seorang kawan tadi, saya lalu menjelaskan, bahwa saya tidak memperoleh royalti dari buku tersebut sampai dengan hari ini.
Salah satu peraturan untuk menerbitkan buku bersama AUP adalah bahwa untuk 1-500 eksemplar buku terjual, jumlah royaltinya adalah 0 persen. Barulah setelah buku terjual di atas 500 akan ada royalti sejumlah 10 persen. Itupun, akan dibayarkan dalam bentuk buku, oleh sejumlah faktor dan pertimbangan.
Sementara saya yakin, penjualan buku saya akan sangat terbatas. Salah satu sebabnya adalah materinya yang sangat spesifik, yang itu juga berarti pangsa pasarnya sangat terbatas. Sebagai buku ilmiah, pastilah peredarannya hanya akan terjadi di pusat-pusat keilmuan. Maknanya, jika Anda berharap bisa mengeruk pundi-pundi rupiah dan menjadi kaya dengan menulis buku ilmiah, maka segera lupakan mimpi itu.
Namun, menerbitkan buku-buku di penerbit-penerbit berkelas internasional dan global, harus tetap menjadi mimpi yang terpelihara. Cerita di atas hanyalah salah satu sisi menarik tentang fakta di balik penerbitan buku saya di AUP. Sebenarnya, di balik itu ada cerita-cerita yang lebih substantif. Itu tercermin dari tahapan-tahapan penerbitan yang cukup menguras energi intelektual. Dalam tulisan ini, saya akan menceritakannya.
Lika-liku Penerbitan Buku
Buku berjudul Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period, merupakan adaptasi dari disertasi saya di Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS) yang saya pertahankan pada tahun 2015.
Saya mengawali penjajakan penerbitan disertasi ini sebagai sebuah buku di AUP melalui sebuah proposal. Perlu dicatat, tidak semua penerbit internasional mau menerbitkan disertasi menjadi sebuah buku. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya memperoleh jawaban bahwa proposal buku yang saya ajukan menarik, dan AUP berminat untuk menerbitkannya.
Pada tahap selanjutnya, AUP meminta saya mengirimkan naskah lengkap disertasi. Di sinilah harus disadari bahwa penerimaan proposal, tidak serta merta menjadi jaminan diterimanya naskah buku. Pada tahap ini, naskah lengkap dibaca oleh editor internal dan mereka menilai apakah naskah layak diterbitkan atau tidak.
Ketika pada akhirnya AUP mengirimkan jawaban positif atas hasil penilaian serial editor (editor yang bertanggung jawab menyeleksi naskah pada tema tertentu dan terdiri dari beberapa judul buku, buku saya masuk dalam serial Religion and Society in Asia), saya merasa inilah tahap akhir dan buku saya bisa segera diproses penerbitannya.
Namun dugaan saya salah. Setelah penilaian editor internal ini, mereka meminta saya untuk mengirimkan nama-nama pakar dengan reputasi internasional dalam bidang yang menjadi kajian buku saya itu untuk menjadi penilai atas draf buku tersebut. Saya menominasikan beberapa nama, baik yang saya kenal secara pribadi maupun tidak. Proses ini memakan waktu cukup lama.
Kritik dari Pakar
Ketika pada akhirnya hasil penilaian pakar itu keluar dan dikirimkan, saya menyadari bahwa semua penilai itu sama sekali tidak saya kenal. Maknanya, nama-nama yang saya ajukan tidak disetujui. Hal yang menarik terjadi di sini. Dua pengadil naskah saya memberikan penilaian yang kontradiktif. Satu penilai memberikan bobot sangat positif atas naskah saya, dan karena itu layak terbit. Sementara, penilai lainnya memandang naskah saya tidak menyumbangkan apa-apa dan tak layak terbit.
Atas hal ini, dari komunikasi dengan editor seri, saya menangkap isyarat kebingungan dari pihak editor. Seandainya keduanya menilai bagus, maka sangat mudah untuk memutuskan: terbit. Atau jika keduanya menilai tidak bagus, maka keputusannya: tidak terbit. Tetapi dua penilaian kontradiktif itu menghadirkan dilema.
Sebagai jalan tengah, saya diminta menjawab kritik atau penilaian negatif dari salah satu penguji. Kritik itu, menurut saya, kurang proporsional, karena menilai naskah saya di luar konteks yang seharusnya. Melalui konsultasi dengan pembimbing disertasi, saya menjawab aneka kritik itu. Editor seri menerima jawaban saya, dan dari situlah keputusan buku ini akan terbit, benar-benar saya peroleh.
Lega? Tunggu dulu. Setelah keputusan itu diberikan, tugas lain yang tak kalah berat menanti. Saya harus mengubah naskah dari bahasa dan gaya disertasi ke dalam bahasa dan gaya buku. Termasuk di dalamnya adalah penerjemahan istilah-istilah teknis hukum Islam ke dalam bahasa Inggris. Di samping itu, persoalan-persoalan teknis seperti transliterasi yang saya pilih juga menjadi hal yang harus secara jeli diperhatikan. Tentu tahapan ini tak kalah melelahkan.
Persoalan Transliterasi
Hasil adaptasi ini kemudian dikirimkan kembali kepada seorang editor ahli dari sebuah universitas di Kanada. Pada tahapan ini, saya seringkali harus berdebat tentang istilah dan konsep hukum Islam, karena bisa jadi penjelasan saya atas sejumlah istilah, menurut editor itu, tidak bisa difahami oleh English-speaking audience (pembaca yang bahasa aslinya adalah Inggris). Proses inipun tidak berlangsung sekali. Karena selisih pemahaman antara saya dan editor tadi memerlukan diskusi dan konfirmasi panjang, hingga akhirnya kami berdua sepakat.
Setelah itu, tibalah tahap penyuntingan paling akhir. Ini adalah hal yang sangat berat. Bukan hanya karena materinya, tetapi juga karena proses itu terjadi pada saat saya sedang “bertapa” di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, untuk mempelajari politik Amerika dalam sebuah program bernama Study of U.S. Institute (SUSI).
Di sela-sela padatnya kegiatan short course, saya masih harus berjuang merampungkan penyuntingan akhir itu sesuai dengan bingkai waktu yang telah diberikan oleh penerbit. Setelah semua proses ini selesai yang memakan waktu sekitar dua tahun, buku itu akhirnya benar-benar terbit. Tentu saya lega, bahwa sebuah pekerjaan berat sebagai seorang sarjana telah saya jalani.
Namun, cerita tidak berakhir dengan terbitnya buku itu. Justru ketika buku ini telah menjadi teks otonom yang terpisah dari saya, sebuah proses dialektika berlangsung. Pada suatu hari di awal 2020, sebuah pesan singkat masuk ke telepon bimbit saya. Pesan itu berasal dari Sukidi, intelektual muslim Indonesia lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Review dari Sarjana Belanda
Ia mengirimkan sebuah artikel berupa review atas buku saya oleh Nico Kaptein, seorang sarjana terkemuka dalam hukum Islam dari Belanda. Tentu ada apresiasi. Tetapi yang lebih dominan adalah kritik. Saya menjawab kiriman Sukidi itu dengan mengatakan bahwa saya tersanjung oleh kritik Kaptein.
Seorang sarjana terkemuka, membaca dan kemudian memberikan kritik atas karya saya, adalah sebuah sanjungan. Saya menyadari bahwa sebuah karya ilmiah, betapapun telah melalui tahapan-tahapan yang sulit untuk lahir, ternyata masih menyimpan celah. Respons Sukidi atas pernyataan saya sangat apresiatif. Ia menilai keterbukaan saya dalam menerima kritik adalah modal penting bagi seorang sarjana.
Jika harus mengeluh, rasanya saya berhak. Sebuah buku yang berasal dari disertasi, sementara proses menulis disertasinya saja sudah mengurus energi hingga saya hampir putus asa pada suatu tahapan; dan ketika harus terbit sebagai buku juga melalui proses yang sungguh-sungguh melelahkan; ternyata begitu banyak lubang yang dengan mudah ditemukan oleh sarjana lain.
Tapi, demikianlah hakikat sebuah perjalanan intelektual. Buku itu, meskipun demikian berat proses kelahirannya, adalah awal bagi sebuah perjalanan tradisi kesarjanaan yang lebih panjang dan berliku.
Semua proses ini, lalu menyadarkan saya akan kebenaran sebuah ungkapan bahwa sebuah petualangan intelektual dan kesarjanaan adalah a never-ending journey, sebuah perjalanan panjang yang tak ada akhirnya. Sementara imbalan material yang diterima sama sekali tidak sepadan dengan tingkat kelelahan dan biaya spiritualnya.
Maka jika Anda menulis buku dengan tujuan untuk kaya, sebaiknya segera berhenti, sebelum pada akhirnya akan kecewa.
Editor: Nabhan