Oleh: Gifari Juniatama*
Kehadiran syair indah beserta para penyairnya bisa dibilang merupakan hal yang tidak pernah terlepaskan dari sejarah panjang peradaban Islam. Sepanjang sejarah itu pula karya-karya penyair muslim selalu mampu menjadi inspirasi hidup bagi umat.
Melampaui batas-batas peradaban, menurut Abdul Hadi WM dalam Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (2016) buah karya para penyair muslim juga mampu memberi pengaruh lebih luas dengan menjadi inspirasi bagi banyak sastrawan lain di berbagai belahan dunia. Salah satu contohnya adalah sajak-sajak Hafiz yang mengilhami Goethe dalam menulis West Ostlicher Divan dan Rabindranath Tagore kala menggubah Gitanjali.
Pribadi Puitis Hamka
Tidak terkecuali di Indonesia, syair telah menjadi bagian dari sejarah panjang Islam, terutama dalam proses dakwah yang berlangsung selama beberapa abad. Dalam Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (2016), Ajip Rosidi menuturkan bahwa sudah sejak lama sastra yang bertalian dengan dakwah hidup di tengah masyarakat.
Pesan-pesan Islam menyatu sebagai ruh dalam syair yang meresap sampai sanubari umat dari untaian kata-kata yang dirangkai oleh para penyair yang juga merupakan seorang ulama. Beberapa nama besar seperti Hamzah Fansuri dari Aceh, La Ode Muhammad Idrus Qoimuddin di Sulawesi Selatan, dan Haji Hasan Mustapa di Tanah Sunda adalah beberapa sosok yang telah memahatkan namanya masing-masing dalam tapak sejarah, untuk karyanya serta aktivitas dakwahnya.
Di tengah lintasan sejarah panjang kesusastraan Islam di Indonesia, hadirlah seorang Hamka sebagai salah satu nama penting dalam jajaran sastrawan abad 20. Ia meneruskan estafet panjang kehadiran seorang ahli agama yang sekaligus seorang sastrawan. Maka tidak berlebihan, jika kemudian salah satu julukan yang disematkan padanya adalah seorang ulama pujangga.
Kepopuleran Hamka sebagai seorang sastrawan dimulai saat dirinya memimpin majalah Pedoman Masyarakat yang berpusat di Medan. Di majalah itulah, karya-karya tersbesarnya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, dan Merantau ke Deli pertama kali diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung (Busyairi, 1985). Selain menulis roman, menurut James Rush dalam Adicerita Hamka (2018) Hamka juga menulis puisi dengan menggunakan nama Abu Zaki, salah satu dari beberapa nama penanya.
Namun, kepiawaian Hamka dalam menciptakan hal-hal puitis tidak hanya terbatas pada goresan penanya saja. Lebih dari itu, sifat puitis telah menjadi salah satu bagian dari pribadinya. Ia seolah menjadi perwujudan dari syair-syair kemanusiaan yang hidup, dan banyak sisi dari kehidupannya selalu bisa ditafsirkan dan dimaknai bagi kebaikan banyak orang.
Salah satu sisi humanis Hamka yang patut untuk diteladani adalah sikap simpati dan bersahabatnya pada semua orang. Bahkan pada pihak-pihak yang bertentangan dengannya atau pernah menyakitinya.
Simpati pada Semua
Ketika Belanda diinvasi oleh Jerman pada pertengahan 1940, Hamka yang merupakan seorang penentang penjajahan oleh Belanda justru menerbitkan sebuah tajuk rencana di majalah Pedoman Masyarakat pada Desember 1940 yang menyatakan bahwa usaha perjuangan “berdiri sendiri” atau merdeka akan hilang jika diktator menang. Ia sebagai pemimpin redaksi juga menampilkan tulisan Tjipto Mangunkusumo yang meminta bangsa Indonesia agar bersikap kesatria kepada musuh (Belanda) yang sedang lemah (Rush, 2018).
Mungkin, sikap Hamka yang menaruh rasa belas kasih pada pendudukan Jerman di Belanda tidak mudah dipahami. Terutama jika melihat apa yang diperbuat oleh negeri tersebut pada tanah airnya, yang juga memusuhi ayahnya sendiri, Haji Rasul. Tetapi, apa yang diperlihatkannya adalah pelajaran yang lebih besar. Sikap simpatinya memiliki arti bahwa penindasan, apapun bentuknya tidak pernah disetujuinya.
Kisah lain dari kepribadian puitis Hamka adalah kelembutan hatinya yang bahkan bisa membuatnya menitikan air mata untuk orang yang bertentangan dengannya. Dalam penuturan Rusydi Hamka di buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2017), ketika ayahnya menerima kabar Soekarno sakit dalam situasi kritis, Buya langsung menangis. Sebuah kesedihan ganjil karena rezim demokrasi terpimpin pernah membuat pilu dengan memenjarakannya menggunakan undang-undang anti subversi. Tetapi, kenangan dinginnya penjara tidak mengubah kehangatan nuraninya.
Air mata juga kembali membasahi wajahnya ketika ia saling berangkulan dalam sebuah pertemuan pada sebulan sebelum kepergiannya dengan Tengku Haji Jafizham, seorang tokoh NU dari Sumatera yang sering berlawanan sikap dengan Hamka. Meski begitu, dalam pengakuan Tengku Jafizham sendiri, Hamka adalah sahabat baiknya. Tidak pernah ada rasa dendam terselip di tengah hubungan mereka yang tak jarang berlangsung tegang. Yang ada hanya rasa saling menghargai.
Tidak hanya dalam balutan haru, ketegaran juga menjadi wajah dari sikap bersahabat pada orang-orang yang mengenalnya. Hamka tidak ragu untuk membela S. J. Sutan Mangkuto—rival sejatinya di organisasi Muhammadiyah—ketika ia diadili setelah “peristiwa 3 Maret 1947”, sebuah konflik di Sumatera Barat yang dipicu ketidakpuasan pada pemerintah. Tanpa latar belakang hukum, Hamka tampil jadi pembela dan berhasil membebaskan Sutan Mangkuto.
Persahabatan Hamka dan Natsir
Jika pada pihak yang pernah berlainan kubu saja Hamka selalu bersikap bersahabat, maka bisa dibayangkan bagaimana intimnya persahabatan dengan orang-orang terdekatnya. Dalam majalah Panji Masyarakat no. 251 yang terbit 15 Juli 1978, Hamka menulis sebuah esai yang menceritakan kisah persahabatannya dengan Mohammad Natsir.
Hubungan keduanya bermula pada tahun-tahun awal kepulangannya dari Mekah, tepatnya pada tahun 1929 ketika Hamka tinggal di Padang Panjang dan memimpin cabang Muhammadiyah setempat. Kala itu ia gemar membaca artikel-artikel Natsir saat berlangganan majalah Pembela Islam, dan menemukan kecocokan dalam beberapa pandangan dengan pemuda yang hanya bebeda usia 6 bulan dengannya itu.
Pertemuan secara langsung kemudian baru dapat terjadi pada Desember 1931, kala Hamka berkunjung ke Bandung. Perjumpaan yang menggenapi hubungan pikiran dan jiwa yang sebelumnya hanya terjalin melalui surat-menyurat. Di samping kesamaan-kesamaan gagasan dalam persoalan agama atau kebangsaan, hal lain yang nampak membuat keduanya cepat akrab adalah kesamaan minat keduanya pada dunia sastra.
Natsir yang lebih dikenal sebagai tokoh politik, nyatanya menaruh minat yang juga besar pada sastra. Dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran dan Perjuangan (2019), Lukman Hakiem menyebut bahwa Natsir muda pernah menjuarai lomba deklamasi puisi semasa bersekolah di Algemene Middelbare Schoolen (AMS) Bandung. Ia mendeklamasikan puisi “De Bandjir” karya Multatuli. Jejak minatnya pada sastra juga tercermin pada tulisan-tulisannya yang tidak jarang mengutip karya penulis besar dunia seperti Goethe, Dante Alighieri, sampai Mark Twain.
Banyaknya kesamaan antara kedua sahabat ini kemudian menciptakan sebuah ikatan persahabatan yang nampak puitis dan bertahan dalam segala keadaan. Ketika Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri pada tahun 1950, ia tetap berkunjung ke rumah Hamka yang kala itu terletak di Gang Toa Hong II, Sawah Besar.
***
Saat masa-masa sulit pada paruh kedua dekade 1950an sampai awal 1960an, keduanya saling memberi sokongan batin untuk menghadapi cobaan besar dalam bentuk berbalas puisi yang mengharukan. Mungkin periode itu menjadi salah satu momen paling miris dan menyedihkan yang pernah dilalui oleh keduanya. Karena tragedi demi tragedi datang silih berganti, serta lawan politik tengah ganas-ganasnya menerkam.
Tetapi setelah segalanya berlalu, bersama dengan kenyataan pedih yang luruh, cahaya damai dengan segera terbit dari pintu kebesaran hati yang dibuka lebar-lebar oleh Buya Hamka. Dirinya mengulurkan tali persahabatan bukan hanya pada orang-orang terdekat, tapi juga pada mereka yang pernah jauh dan berlawanan pihak. Sebuah sikap bersahabat yang keindahannya menyerupai syair dan sangat patut untuk diteladani saat ini, bahkan sampai masa depan kelak.
*) Penulis lepas dan peneliti independen. Tinggal di Tangerang
Editor: Nabhan