Akidah

Benarkah Jumlah Rezeki Sudah Ditentukan?

3 Mins read

Pernahkah kita mempertanyakan, jika rezeki adalah takdir yang sudah ditentukan, lalu apa gunanya usaha. Mau sekeras apa kita mencari rezeki, jika rezeki kita ditakdirkan sedikit, ya itulah rezeki kita.

Kemudian, membuat kita berprasangka buruk dan berfikir Tuhan tidak adil, sebab rezeki kita sudah dibatasi sesuai yang digariskannya

Pertanyaan nakal itu mungkin sering pula menghantui kita. Bahwasannya, setiap manusia memiliki rezeki yang sudah ditetapkan. Dengan dasar itu pula, kita sebagai manusia kemudian kehilangan kehendak untuk berusaha lalu bersikap fatalis dalam berkehidupan. Namun, apakah benar takdir manusia begitu?

Manusia: Makhluk Musayyar dan Mukhayyar

Buya Yunahar, dalam bukunya Aqidah Islam, pada bab Takdir, menjelaskan bahwa takdir pada manusia dibagi menjadi dua.

Pertama, manusia disebut sebagai makhluk musayyar. Artinya, manusia tak memiliki kebebasan dalam berkehendak untuk memilih, menerima, ataupun menolak. Sebab, semuanya telah dibentuk dan ditentukan.

Bukti manusia disebut makhluk musayyar adalah bagaimana latar belakang keluarga kita ketika dilahirkan, jenis kelamin kita laki-laki atau perempuan, warna kulit, bentuk fisik, dan beberapa hal lainnya yang memang sudah menjadi bawaan kita ketika lahir di dunia. Hal-hal yang berkaitan dengan ketidakmampuan kita untuk memilih, Allah sama sekali tidak meminta pertanggung jawaban.

***

Kedua, manusia sebagai makhluk mukhayyar yang artinya manusia memiliki kebebasan berkehendak untuk memilih, berusaha mencapai tujuan yang diinginkan, menerima atau menolak sesuatu dalam hidupnya Yang mana, kita memiliki kehendak untuk berusaha mencapainya

Seperti kita ketika hidup di dunia diberi kebebasan untuk memilih apa yang kita makan, makanan halal ataukah haram, memiliki penghasilan yang tinggi atau rendah, memiliki hobi apa, ingin hidup seperti apa, dan banyak pilihan, yang memang kita memiliki kehendak untuk mencapainya. Hal-hal seperti ini, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang kita pilih untuk hidup di dunia.

Baca Juga  Berdoa Tak Berarti Tidak Ridha dengan Kepastian Allah

Dari kedua hal di atas, dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk musayyar memang tidak punya kuasa untuk memilih. Tetapi sebagai makhluk mukhayyar, kita dituntut untuk memiliki pilihan atas apa yang akan terjadi di dalam hidup kita, dan setiap pilihan itu memiliki pertanggung jawaban kepada Allah Ta’ala.

Memaknai Rezeki

Adapun dalam memaknai rezeki, melihat dari akar katanya, rezeki berasal dari Bahasa Arab “rizq” disebut berulang-ulang dalam Al-Qur’an sebanyak 123 kali. Dalam 44 surat, dengan berbagai derivasinya, dan apabila diserap dalam bahasa Indonesia. Kata “rizq”, menjadi “rejeki”.

Rezeki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan. Seperti makanan sehari-hari, nafkah, keuntungan, kesempatan, harta untuk bertahan hidup

Senada dengan apa yang ditulis oleh Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar nya, bahwa segala sumber rezeki berasal dari Allah Ta’ala yang diberikan kepada manusia untuk di manfaatkan dan digunakan untuk keberlangsungan hidup di dunia

Lanjut Hamka, mengklasifikasikan bahwa rezeki yang diberikan kepada manusia di bagi menjadi dua bentuk. Pertama, rejeki yang bersifat materi, seperti air, perkebunan, buah-buahan, makanan, hewan ternak, harta benda dan segala hal yang bersifat indrawi dan kita dapat merasakan kenikmatannya.

Kedua, bersifat non materi, dalam hal ini rezeki berupa ketenangan, kebaikan, kesehatan, keberkahan yang menyelimuti hidup kita, kesejahteraan sosial, yang mana manusia merasa tentram dalam menjalani hidup karena dilimpahi ampunan oleh Allah ta’ala.

Dengan begitu, rezeki bukan selalu tentang materi berupa uang atau harta benda lainnya yang bersifat indrawi, sebuah perasaan nyaman, circle pertemanan yang baik, keluarga yang harmonis, dan ilmu yang bermanfaat merupakan rezeki juga untuk kita secara maknawi

Baca Juga  Jika Allah Maha Penyayang, Kenapa Masih Banyak Penderitaan?

Benarkah Rezeki Sudah Ditentukan?

Dawam Raharjo dalam buku Tafsir Sosial Ayat-Ayat Kunci, menjelaskan bahwa mayoritas manusia mengasumsikan bahwa rezeki telah ditentukan sebelum mereka terlahir di dunia.

Ini tidak benar jika kita memahaminya dengan pengertian tunggal, dan menjadi benar bila kita mampu memahaminya secara keseluruhan makna substantif yang terkandung di dalamnya

Jika kita memahaminya dengan pengertian keseluruhan, maka itu artinya rezeki manusia tidak akan datang kecuali atas kemurahan Allah ta’ala. Setelah kita melaksanakan aktifitas pekerjaan yang bersumber dari keringat kita.

***

Dawam mengatakan, kedua hal inilah sumber yang menyatukan rezeki, berdasarkan firman-Nya “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur” (Qs. Yasin: 35)

Dari arti ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa penyatuan dari karunia Alah Ta’ala dan usaha yang berasal dari diri kita adalah sumber rezeki yang bisa kita terima. Sebagaimana pula apa yang telah Allah Firmankan di QS. Ar-Ra’du: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah dirinya sendiri”.

Secara jelas, arti ayat tersebut memberikan pernyataan bahwa nasib kita ketika di dunia dalam hal mencari rezeki atau untuk merubah diri kita untuk menjadi lebih baik. Komponen utama dan pertama untuk merubahnya adalah melalui diri sendiri terlebih dahulu.

Dengan bekerja keras, cerdas, dan ikhlas. Setelah itu, baru bertawakal dan meyakini apapun yang terjadi, sebaik-baiknya rencana kita, rencana Allah pasti lebih indah.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Sukoharjo 2020
Articles
Related posts
Akidah

Ragam Makna Iman dan Tauhid, Mana yang Lebih Tepat?

3 Mins read
Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak…
Akidah

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

4 Mins read
Semua agama di dunia ini mempunyai hal-hal yang dianggap suci (the Sacred), misalnya, kitab suci, nabi, dan lain-lainnya. The Sacred menurut M. Amin Abdullah, dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, merupakan Nonfalsifiable Postulated Alternate Realitie. Pada artian lain, disebut dengan hal yang tidak bisa dipermasalahkan, difalsifikasi, dan diverifikasi oleh siapapun.
Akidah

Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

3 Mins read
Di era saat ini, teknologi mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kemajuan teknologi merupakan bukti dari keberhasilan sains modern. Namun, dibalik kemajuan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *