Review

Ketika Tindakan Terorisme Mengatasnamakan Tuhan dan Kemanusiaan

3 Mins read

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang riuh ramai. Aparat bersenjata lengkap dengan sigap bersiaga. Di halaman teras, di lorong-lorong gedung, di setiap sudut ruang sidang. Wartawan begitu tangkas merekam setiap detiknya. Seolah tak boleh ada momen yang dilewatkan. Siang itu, Aman Abdurrahman, terpidana terorisme, akan membacakan naskah pledoinya.

“Silahkan kalian bulatkan tekad untuk memvonis saya, mau vonis seumur hidup, silahkan, mau eksekusi mati, silahkan juga. Jangan ragu atau berat hati. Tidak ada sedikitpun gentar dan rasa takut dengan hukuman mengerikan ini. Di hatiku ini, aku hanya bersandar kepada Sang Penguasa dunia dan akhirat. Dan apa yang anda lakukan semua, akan mendapatkan balasan dari Allah,” tegas Aman.

Dua puluh tujuh hari berselang, hakim memberikan vonis mati Aman Abdurrahman karena keterlibatannya dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia. Dengan berbalut sorban, Aman tersenyum tipis. Lantas bersujud syukur. Seisi ruangan menjadi bingung. Ini ekspresi kesedihan atau kebahagiaan? Kekalahan atau kemenangan? Hanya Aman yang tau.

Sekilas peristiwa di atas mirip dengan naskah drama yang ditulis oleh Albert Camus dengan judul Les Justes yang diterbitkan tahun 1947. Bercerita tentang Ivan Kalyayev dan sekelompok teroris dari Divisi Perang Partai Sosialis Revolusioner yang melakukan aksi pengeboman terhadap Pangeran Serge, paman dari Tsar Rusia.

Yanek—nama samaran Kalyayev—adalah orang yang bertanggung jawab melemparkan bom ke kereta kuda yang dinaiki Pangeran Serge. Berminggu-minggu mereka menyusun strategi dan menyiapkan segala keperluan. Dengan segenap hati Kalyayev percaya bahwa yang akan ia bunuh bukanlah manusia, melainkan despotisme.

Hingga akhirnya hari yang dinantikan tiba. Langit Moskow mulai gelap. Gedung teater telah dibuka. Kereta kuda berseliweran di ruas-ruas jalan. Yanek sudah berada di posisinya, namun tak kunjung menuntaskan misinya. Kawan-kawannya mendadak cemas. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Yanek?

Baca Juga  Shoemaker: Keraguan dalam Tradisi Pengumpulan Al-Qur'an

Yanek urung melemparkan bom. Hati dan pikirannya tiba-tiba buncah. Tangannya seketika membeku tatkala melihat anak kecil—dengan memakai busana terbaik dan tatapan mata yang kosong—berada satu kereta dengan Pangeran Serge. Hal yang tidak pernah terbayangkan olehnya.

Kemenangan mungkin akan datang. Namun revolusi akan dibenci oleh seluruh umat manusia karena kematian anak-anak yang tak berdosa. Petani lugu di desa paling terpencil pun pasti akan mengatakan hal yang sama, membunuh anak-anak adalah kejahatan terhadap kehormatan manusia.

Pada akhirnya misi tetaplah misi. Rusia terlalu lama tenggelam dalam kemiskinan dan penderitaan. Keadilan harus segera ditegakkan dan membuat kalbu semua orang terang benderang. Mereka akan terus meneror sampai tanah dikembalikan kepada yang berhak, yakni rakyat. Mereka bersepakat untuk menyusun ulang rencana dan mengeksekusinya di minggu berikutnya. Dan Yanek tetap bertugas sebagai pelempar bom.

Dengan tegak Yanek berjalan menyusuri jalan sembari berteriak “Rusia merdeka!”. Beberapa jam kemudian, bom terdengar meledak. Menggetarkan jendela-jendela rumah. Yanek berhasil menamatkan misinya. Ia merasa puas dan bahagia. Ia sudah siap menanggung konsekuensi yang ada di depan matanya, yakni tertangkap polisi, disiksa dan berakhir di tiang gantungan,

Drama yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini menyiratkan konflik batin yang begitu dalam. Kegelisahan yang muncul. Ketidakpercayaan antar anggota kelompok menyeruak ke permukaan. Keraguan akan idealisme makin menguat. Layaknya seorang penyair, Camus begitu lihai menghipnotis pembaca dengan diksi-diksi yang digunakan.

Sekalipun memiliki alur maju mundur, namun Camus berhasil meramunya menjadi kejutan di luar dugaan. Seperti keberadaan anak kecil di kereta Pangeran Serge. Atau kehadiran tokoh yang bernama Foka, kawan pertama Yanek di penjara, yang justru menjadi algojo kematian bagi Yanek di tiang gantungan.

Baca Juga  My Soul is a Woman: Memahami Peran Perempuan dalam Agama dan Budaya ala Schimmel

Hanya saja pembaca tidak akan menemukan cerita tentang bagaimana proses Yanek tertangkap polisi? Atau bagaimana keadaan Rusia setelah wafatnya Pangeran Serge dan Yanek?. Andaikata Camus melengkapi bagian di atas, tentu naskah drama yang diangkat menjadi novel ini akan lebih menarik dan utuh.

Sebagai seorang filsuf, tak lupa Camus senantiasa menyelipkan pemikiran absurditasnya di setiap dialog. Mempertanyakan hakikat kehidupan, kematian, cinta, keadilan hingga kemanusiaan. Pembaca akan dihadapkan dengan perasaan gundah gulana dengan membawa sebuah bom rakitan yang siap meledak kapanpun itu.

Kekuatan ide benar-benar sedang diuji. Seseorang yang tenggelam dalam kefanatikan ide, akan rela melakukan apapun itu agar tujuan dan prinsipnya tercapai. The end justifies the means. Bahkan martabat manusia pun tak menjadi berharga jika memang menghambat tercapainya cita-cita.

Di akhir kisah, Yanek meneguhkan diri sebelum dieksekusi. Bagi kawan-kawannya, ia bukanlah pembunuh, melainkan seorang revolusioner, martir yang rela mati demi tegaknya keadilan di Rusia. Dengan tenang Yanek berjalan menuju tiang gantungan. Binar kebahagiaan terpancar dari wajahnya.

“Kematian akan menjadi protes tertinggi untuk menentang dunia air mata dan darah. Tuntas sudah aku menjalani kehidupan. Dan aku akan melunasi hutangku dengan kematian ini,” ungkap Yanek beberapa saat sebelum tali mencekik lehernya. Hal yang sama yang mungkin dirasakan oleh Aman sebelum maut menjemput.

Daftar Buku

Judul: Bom Sang Teroris

Penulis: Albert Camus

Penerjemah: M. Muhajir

Penerbit: Kreasi Wacana

Tahun terbit: 2003

Tebal: 137 halaman

ISBN: –

Editor: Soleh

Avatar
9 posts

About author
Kader IMM Renaissance FISIP UMM
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *