Perspektif

Merajut Simpul Ekologi Islam yang Putus

2 Mins read

Ekologi Islam menjadi tatanan nilai yang mengatur tentang relasi antar manusia, untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan kehidupan. Rujukan ekologi Islam ialah Alquran dan contoh keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam berinteraksi dengan alam.

Alquran memberikan penegasan tentang bagaimana seharusnya umat manusia memperlakukan lingkungan dan alam. Allah SWT berfirman dalam surat Al-‘Araf ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, setelah Allah memperbaikinya, dan
bedoalah kepada Allah dengan penuh rasa takut (tidak akan diterima) dan berharap (akan dikabulkan). Sesungguhnya Allah begitu dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”

Larangan berbuat kerusakan di muka bumi dipersandingkan dengan iman bukan tanpa alasan. Penyandingan tersebut menguatkan pentingnya menjaga keseimbangan alam demi kelangsungan generasi di masa depan. Bahkan syariat untuk menjaga lingkungan juga dikontekskan dalam rukun peribadahan kepada Allah Swt.

Contonya, dalam pelaksanaan ibadah haji. Ketika seorang muslim/muslimah berniat melaksanakan ihram atau memasuki kota Makkah, maka jamaah tidak diperbolehkan untuk menumbangkan pepohonan, menyakiti binatang, bahkan mencabut rumput pun tidak diperkenankan.

Selain itu, Nabi juga telah memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yaitu sistem pengelolaan lahan yang belum memiliki daya manfaat menjadi berdaya guna bagi kebutuhan manusia. Nabi Muhammad juga mengajarkan kepedulian pada kelestarian hewan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Daud:

“Siapakah yang telah menyusahkan induk burung ini dan mengambil anaknya, kembalikanlah anak-anak burung tersebut kepada induknya.”

Keteladan Nabi tersebut menjadi pedoman manusia untuk memahami dan menjalankan pelestarian
lingkungan. Keteladanan tersebut dimaksudkan agar menjadi perilaku untuk mencegah kerusakan lingkungan yang bisa berakibat pada bencana merugikan manusia. Maka, ekologi Islam memiliki prinsip dalam menjaga relasi baik antara manusia dengan alam antara lain:

  1. Relasi al-intifa’, yaitu manusia dipersilahkan mengambil manfaat dari alam dan memanfaatkannya kembali demi kemakmuran dan kemaslahatan.
  2. Relasi al-i’tibar, yaitu manusia diamanatkan untuk mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa alam.
Baca Juga  HMI Connection vs Pro-Demokrasi Connection

Relasi al-islah, yaitu manusia memiliki kewajiban untuk senantiasa menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan.

Azyurmardi Azra menyebutkan bahwa saat ini sebagian besar lingkungan hidup ekosistem di negara-negara Islam mengalami kerusakan. Lebih lanjut Azra menjabarkan sebagai berikut:

“Bukan hanya sekedar global warming, persoalan ekosistem juga menjadi tantangan besar dunia Islam. Jadi kalau kita mengadakan perjalanan ke wilayah-wilayah dunia muslim, di manapun sebagian besar lingkungan ekosistem di dunia muslim itu rusak. Misal, sebagian besar rest area dari Mekkah-Madinah banyak toilet yang kurang layak, bahkan jauh mencerminkan ajaran Islam tentang kebersihan. Hal itu juga sama di bagian negara lain seperti Mesir dan Tunisia”.

BNPB merilis data kejadian bencana alam Indonesia mencapai 3.058 sepanjang tahun 2021, di mana menurut data yang dirilis berdasarkan pantauan pada 1 Januari-28 Desember 2021, BNBP mencatat 1.288 kejadian bencana banjir.

Mayoritas bencana banjir terjadi karena luapan sungai akibat pendangkalan, serta kerusakan hutan. Hal ini miris, mengingat Indonesia merupakan negara mayoritas muslim tetapi nilai normatif ekologi Islam terasa kurang menjadi perhatian bahkan kebanyakan diselisihi dengan perilaku-perilaku kurang ramah pada lingkungan.

Realitas di atas adalah bukti bahwa terjadi keterputusan nilai ekologi Islam. Di mana umat Islam dalam berhubungan dengan alam, justru malah menyelisihi dari apa yang diajarkan oleh agamanya sendiri. Sehingga untuk mengatasi problem keterputasan nilai tersebut.

Perlu menciptakan iklim pendidikan yang komprehensif untuk menumbuhkan kesadaran pelestarian lingkungan dengan pemahaman konsep ekologi Islam. Pengajaran nilai-nilai pada pendidikan Islam
tidak boleh secara parsial dan terpotong-potong. Pola pengajaran haruslah komprerehensif, sehingga pengetahuan etika tentang kelestarian lingkungan tidak terlupakan. Pola pengajaran konfrehensif bisa dilakukan dengan menjalankan peranan lembaga pendidikan yang dirancang dengan iklim keagamaan yang kuat.

Baca Juga  Fatwa MUI, Antara Kalender Islam Lokal dan Global

Lembaga pendidikan Islam dapat merealisasikan langkah praktis untuk menginternalisasi nilai-nilai ekologi Islam melalui program eco-pesantren dan program adiwiyata. Harapan besarnya dengan program serta sistem pendidikan lembaga Islam yang konfrehensif tersebut dapat merajut kembali simpul putus ekologi Islam untuk pelestarian lingkungan.

Edtor: Yusuf

*) Artikel ini adalah juara Lomba Artikel Ilmiah yang digelar oleh HW UMS bekerja sama dengan IBTimes

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *