Riset

Nenek Moyang Bangsa Arab

7 Mins read

Sampai kini banyak di kalangan ilmuwan masa kini yang sependapat dengan teori ekspansi, seperti halnya Steven Olson. Dan teori ini memang sangat relevan untuk membaca dan menganalisis data-data sejarah bangsa-bangsa terdahulu, khususnya nenek moyang bangsa Arab yang akan kita bahas kali ini.

Dalam proses analisis data-data historis nenek moyang Bangsa Arab ini, kita akan banyak menemukan pola hubungan saling mempengaruhi antara satu unsur kebudayaan dengan kebudayaan lain sehingga membentuk suatu kebudayaan baru, baik yang masih terikat secara ketat maupun longgar.   

Bangsa Akkad sebagai Nenek Moyang Bangsa Arab

Pada awal Millenium Ketiga Sebelum Masehi, orang-orang dari suku Arab Utara melakukan ekspansi secara besar-besaran tanpa arah dan tujuan. Tanpa arah dan tujuan karena pada waktu itu belum ada pusat-pusat informasi yang dapat menjadi petunjuk arah atau pertimbangan tujuan ekspansi.

Motivasi utama ekspansi karena di kawasan Arab Utara dilanda paceklik atau kesulitan pangan sehingga memaksa suku-suku Arab ini menjelajahi bumi untuk menemukan sumber penghidupan yang lebih baik. Mereka kemudian sampai di tepi Laut Tengah.

Sampai pada pertengahan Millenium Ketiga Sebelum Masehi (SM), mereka berhasil merebut wilayah Mesopotamia dari kekuasaan bangsa Sumeria. Pusat pemerintahan mereka di kota Ur. Kota inilah yang menjadi saksi sejarah bagi kelahiran nabi besar, Ibrahim as. Kita akan mengkaji sejarah perjalanan hidup nabi besar ini. 

Nabi Ibrahim as. adalah seorang keturunan dari bangsa Akkad. Dalam penelitian Jerald F. Dirks diperkirakan kelahiran Ibrahim pada sekitar tahun 2166 SM. Dia lahir di kota Ur. Kota ini yang menurut sejarawan Ahmad Syalabi sebagai salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Mesopotamia (sekarang Irak). Selain kota Ur, banyak kota besar di Mesopotamia seperti kota Nippur dan Sippar. Pada masa kehidupan Ibrahim, kota Ur dipimpin oleh Naram-Sin (Nimrod/Namrud). 

Ibrahim lahir dalam lingkungan masyarakat yang memiliki sistem kebudayaan berbasis agrikultur. Orang-orang Akkad hanya meneruskan peradaban Sumeria yang telah mapan. Bukan hanya unsur kebudayaannya saja yang ditiru oleh bangsa Akkad, tetapi pandangan hidup dan sistem kepercayaan orang-orang Sumeria juga ditiru.  

Kita tahu bahwa pada mulanya orang-orang Akkad adalah bangsa nomaden. Mereka jelas tidak memiliki kebudayaan layaknya bangsa menetap. Setelah berhasil menaklukkan bangsa Sumeria, mereka justru banyak mengadopsi kebudayaan bangsa ini. Adapun peradaban Sumeria sendiri berbasis agrikultur.

Mata pencaharian mereka sehari-hari sebagai petani (agrikultur). Mereka telah menguasai sistem pertanian yang canggih. Dengan menguasai sistem pertanian yang canggih, bangsa ini dapat hidup mencapai taraf makmur. 

Seperti bangsa-bangsa lain pada umumnya, orang-orang Sumeria memiliki cara pandang tersendiri dalam memahami peran dan posisinya di alam semesta ini. Mereka mengenal kekuatan yang kasat mata, yang menjadi penyebab dari seluruh kehidupan dan kematian. Oleh karena itu, bangsa Sumeria memiliki tradisi religius.

Tetapi, mereka memahami kekuatan yang kasat mata tersebut secara sederhana. Lewat proses asosiasi, mereka menyerupakan wujud kekuatan yang kasat mata tersebut ke dalam bentuk-bentuk materi. Mereka pun memiliki banyak dewa sesembahan. 

Baca Juga  Mengenal Komunitas Kampung Arab di Kota Malang

Tampaknya, kondisi sosiologis-historis amat menentukan bagi corak religiusitas suatu bangsa. Atau, sistem sosial dan ditopang dengan perekonomian yang sudah maju mempengaruhi cara pandang suatu bangsa dalam memahami dewa-dewa sesembahan. Misalnya, karena bangsa Sumeria membangun peradaban berbasis agrikultur, maka konsep ketuhanan mereka pun tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan dunia pertanian.

Mereka memuja “Dewa Air.” Kemudian mereka juga sangat memuja-muja Dewi “Kesuburan.” Bahkan, Dewa Marduk, sosok dewa yang amat masyhur bagi bangsa Sumeria, diasosiasikan berjalan di atas air. Di sini jelas sekali pengaruh sosio-historis menentukan corak berpikir mereka.

Sistem Kepercayaan

Lambat-laun, bangsa Sumeria tidak cukup menyembah dewa-dewa pokok yang berkaitan dengan basis peradaban mereka. Karena sistem pertanian amat canggih, mereka tidak lagi mengalami kesulitan pangan. Bangsa Sumeria mencari figur-figur baru sebagai asosiasi wujud kekuatan yang kasat mata. Hampir setiap penduduk kota Ur pada masa peradaban Sumeria telah mencapai taraf hidup makmur.

Oleh karena itu, mereka mulai memikirkan kebutuhan-kebutuhan lain yang sifatnya sekunder. Dari sini pula tampak jelas pengaruh kehidupan perekonomian yang telah makmur turut menentukan bagi corak pola pikir dan wawasan keagamaan mereka. Sebagian penduduk kota Ur mulai memuja “Dewi Kecantikan” yang disimbolkan dengan Bintang Venus. Atau, mereka juga memuja Dewa Matahari sebagai penjelmaan dewa terbesar yang dianggap memberikan kehidupan di bumi.       

Sampai pada masa kehidupan Nabi Ibrahim as, bangsa Akkad yang menetap di kota tua, Ur, menyembah banyak dewa. Setiap kota di Mesopotamia memiliki dewa-dewa kecil selain dewa terbesar yang menjadi sesembahan utama bangsa ini. Penduduk Mesopotamia pada masa Dinasti Akkad menyembah “Dewa Matahari” (Shamash). Tetapi, terdapat karakter unik pada masa peradaban bangsa Akkad ini. Di setiap kota memiliki dewa-dewa kecil sebagai identitas kota tersebut. Misalnya, penduduk Ur menyembah “Dewi Bulan” (Sin). 

Ibrahim as. berbeda pola pikir dan keyakinannya dengan kaumnya. Dia hanya menyembah Tuhan Yang Satu, yang sifatnya imanen dan transenden, wujudnya tidak dapat diserupakan dengan benda-benda. Tuhannya tidak dapat dipahami dengan perspektif asosiasi pikiran manusia. Sekalipun pada waktu itu Ibrahim belum mengenal nama Tuhannya, tetapi dia tetap yakin kepada Tuhan Yang Satu, yang imanen dan transenden (Nurcholish Madjid, 2000: 47). Tuhannya tidak dapat diserupakan dengan benda-benda lain di alam ini. 

Kepercayaan Paganisme bangsa Akkad merupakan warisan dari bangsa Sumeria yang pada Millennium ke-4 SM. telah menempati kawasan Mesopotamia dan membangun peradaban tertua di muka bumi ini. Orang-orang Akkad pada Millennium ke-3 SM. berhasil menggantikan kekuasaan bangsa Sumeria ini.

Akan tetapi, bangsa Akkad adalah bangsa nomaden. Mereka tidak memiliki peradaban yang maju. Oleh karena itu, mereka jelas tidak dapat menghapus tradisi dan kepercayaan bangsa Sumeria sebelumnya. Bahkan, mereka telah memodifikasi tradisi dan kepercayaan bangsa Sumeria dalam sistem kehidupan mereka. 

Orang-orang Akkad membangun peradaban berbasis agrikultur, meneruskan tradisi orang-orang Sumeria yang telah maju. Pertanian dan peternakan berkembang dengan pesat. Mereka hidup di tepi sungai Furat (Euphrate) dan Dajlah (Tigris) yang subur sehingga pertanian dan peternakan menjadi makin maju.

Baca Juga  Khalifah Ali (17): Perang Jamal (6) Perpisahan

Namun, sistem kepercayaan bangsa Akkad cenderung menempatkan fenomena-fenomena kosmos sebagai manifestasi dari kekuatan-kekuatan maha tinggi yang mengatasi kehidupan mereka. Inilah yang disebut dengan cara pandang atau falsafah hidup bangsa Akkad. 

Bangsa Akkad mengenal “Dewa Kesuburan” yang diyakini sebagai pemelihara tanaman mereka. Di samping itu, sebagaimana siklus kehidupan, bangsa ini juga mengenal “Dewa Kematian.” Mereka menjadikan beberapa tanaman tertentu sebagai manifestasi dewa-dewa. Kepercayaan semacam ini dalam teori sejarah agama-agama disebut Totemisme

Dalam perkembangan berikutnya, kepercayaan bangsa Akkad mulai diatur dalam sistem pantheon. Yakni, alam dewa-dewa yang masing-masing memiliki karakteristik, otoritas, dan posisi yang berbeda-beda. Mereka mulai memvisualisasikan wujud dewa yang pada mulanya abstrak menjadi empiris. Dengan pola pikir Antropomorphisme, mereka membentuk figur dewa-dewa menyerupai manusia. Bahkan, mereka meyakini sifat dewa-dewa berdasarkan emosi dan motivasi layaknya sifat-sifat manusia (Antropopatisme)

Bangsa Akkad mewarisi tradisi lisan dan tulisan dari bangsa Sumeria. Kebudayaan mereka, terutama dalam bidang seni dan sastra, berkembang dalam bentuk mitos, himne, dan epik, yang secara khusus ditujukan untuk pemujaan kepada dewa-dewa. Cukup unik di sini bahwa bangsa Akkad memiliki tradisi mitos yang mengisahkan tentang peristiwa “Banjir Besar” di zaman Nabi Nuh.

Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim as. dilahirkan dari sebuah Klan Tarih (Terah). Dia adalah putra Azar. Silsilah nasabnya bertemu dengan Sam bin Nuh. Dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 74 disebutkan ayah Nabi Ibrahim as. bernama Azar. Akan tetapi, para Mufassir dan Ahli Sejarah Muslim banyak yang berselisih pendapat perihal nama ayah Nabi Ibrahim as. Sebagian menyebutkan bahwa nama ayah Nabi Ibrahim as. adalah Azar, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An’am ayat 74.

Namun, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa nama ayah Nabi Ibrahim as. bukanlah Azar, melainkan Tarih. Pendapat yang disebutkan terakhir, umumnya, merujuk kepada sumber-sumber biblikal. 

Beberapa sejarawan Muslim dan para Mufassir memberikan penjelasan dalam hal ini. Sebagian berpendapat Justru bahwa nama Azar, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An’am ayat 74, bukanlah ayah kandung Nabi Ibrahim as., melainkan “pamannya” yang sudah dianggap sebagai ayah kandung.

Seperti Ja’far Subhani dalam bukunya Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah saw (2000), menganggap bahwa penyebutan kata “abihi” pada surat Al-An’am ayat 74, dalam konteks tradisi Arab, berarti “paman.” Sementara pengertian secara literal kata “abun” berarti “ayah.” Atas dasar inilah, Ja’far Subhani berpendapat bahwa nama Azar adalah paman Ibrahim. 

Sejarawan Ahmad Syalabi justru menegaskan bahwa nama ayah kandung Ibrahim as. adalah Tarih, bukan Azar. Jika dirunut ke belakang, konon, silsilahnya akan bertemu dengan nenek moyang mereka, yakni Nabi Nuh as. Tampaknya, Ja’far Subhani dan Ahmad Syalabi cenderung mendukung sumber-sumber biblikal untuk menjelaskan sejarah kehidupan nabi besar ini.  

Baca Juga  Di Balik Dinginnya 'Musim Maba' di Malang

Sebuah penelitian penting yang dilakukan oleh Jerald F. Dirks (2004) telah memberikan jawaban atas perbedaan pendapat para sejarawan muslim tentang nama ayah Ibrahim as. Sesungguhnya, nama ayah kandung Ibrahim adalah Azar, bukan Tarih. Justru Tarih adalah nama klan yang darinya Azar dilahirkan.

Jika pendapat para sejarawan yang memperselisihkan penggunaan kata “abun” pada surat Al-An’am ayat 74 diasosiasikan sebagai nama “paman,” maka silsilah Ibrahim terputus satu generasi. Justru ketika Azar dianggap sebagai ayah kandung Ibrahim, maka tidak ada garis terputus dalam silsilahnya. Tarih adalah nama klan keluarga Ibrahim, yang boleh jadi adalah kakeknya.

Setelah peristiwa (mukjizat) pembakaran, Nabi Ibrahim as. menghindar dari kejaran kaumnya. Inilah yang oleh sejarawan Ahmad Syalabi dikatakan sebagai cikal-bakal perlawanan Nabi Ibrahim as. terhadap kaumnya. Nabi Ibrahim as. hijrah bersama istrinya, Sarah, dan keponakannya, Luth, serta beberapa kerabat, dan budak-budaknya. Mereka membawa bekal harta benda, binatang ternak, dan lain-lain. 

Perjalanan hijrah menelusuri berbagai kawasan tanpa tujuan yang pasti. Pada sekitar tahun 2105 SM, mereka sempat singgah ke kota Haran. Di kota ini, Ibrahim sempat menyampaikan ajaran-ajarannya. Tetapi, penduduk kota Haran sudah menganut kepercayaan Paganisme.

Ajaran-ajaran Ibrahim jelas ditolak dengan keras oleh penduduk Haran. Mereka jelas sangat asing dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi ini. Sehingga, pada akhirnya, dia memutuskan untuk kembali melanjutkan pengembaraan tanpa tujuan.

Pada sekitar tahun 2091 SM, Ibrahim dan kaumnya singgah di Syria dan Jordania. Tetapi, Ibrahim dan kaumnya mendapati mereka sangat kuat berpegang kepada tradisi pagan. Bahkan Ibrahim sendiri dimusuhi oleh penduduk Syria dan Jordania. Lalu dia menyatakan untuk terus melanjutkan pengembaraan sampai ke Palestina. Dan, setelah sampai di Palestina, Ibrahim dan kaumnya sempat tinggal selama beberapa waktu lamanya. (Bersambung)

***

*Tulisan ini merupakan seri ketiga dari serial Legasi Arab Pra Islam. Serial ini merupakan serial lanjutan dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Baca juga Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Seri 6 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

Seri 7 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan

Seri 8 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Seri 9 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kepercayaan Majusi bagi Bangsa Arab

Seri 10 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Seri 1 Legasi Arab Pra Islam: Bukan “Jazirah Arab”, tapi “Syibhu Jazirah Arab”

Seri 2 Legasi Arab Pra Islam: Siapakah Bangsa Arab Itu?

Editor: Yusuf

157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds