Perspektif

Sikap Al-Qur’an Terhadap Penyandang Disabilitas

3 Mins read

Pergumulan strata sosial antara kaum adam dengan kaum hawa merupakan diskusi yang kian hari kian memanas. Pergumulan yang muncul tersebut pada mulanya merupakan keresahan dari sebagian kaum hawa karena dianggap sebagai manusia kelas dua sekaligus untuk menuntut keadilan terhadap sistem patriarki yang menjamur. Aminah Wadud menyayangkan sistem tersebut, sebab menurutnya perempuan pada dasarnya manusia yang sempurna sebagaimana laki-laki, oleh karena itu sudah seharus jika perempuan memiliki peran dan kedudukan yang sama.

Di tengah-tengah perdebatan yang kian melelahkan tersebut, rupanya juga terdapat golongan lain yang mereka acapkali atau cenderung diabaikan dan bahkan tak pernah dianggap kehadirannya. Ya, mereka adalah penyandang disabilitas. Mereka diabaikan bukan tanpa sebab, melainkan karena kondisinya yang ‘dianggap berbeda dan justru akan merepotkan jika turut dilibatkan sebagaimana orang-orang pada umumnya, mulai dari status pergaulan hingga pekerjaan.

Selain itu, melekatnya mitos dalam masyarakat yang menganggap penyandang disabilitas sebagai produk gagal atau mungkin sebagai kutukan Tuhan karena perbuatannya, menambah semakin memperkeruh kedudukan dan keadaan mereka. Hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian bersama kita umat Islam. Lantas bagaimana seharusnya sikap kita terhadap penyandang disabilitas?

Apa Itu Disabilitas?

Istilah disabilitas atau difabel merupakan kata terapan dari bahasa Inggris differently abled yang dikumandangkan oleh aktivis penyandang cacat Indonesia. Kata difabel sendiri sebenarnya eufemisme (kata yang diperhalus) yang menegaskan bahwa kodratnya manusia diciptakan adalah berbeda, sehingga yang tampak antara manusia satu dengan yang lainnya hanyalah perbedaan bukan kecacatan.

Perbedaan kemampuan bukan berarti mereka tidak mampu sama sekali, akan tetapi mereka mampu dengan caranya sendiri. Hal ini jika kita gali lebih dalam tentu selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surah al-Hujurat ayat 13. Dengan begitu ironis rasanya jika perbedaan dipahami sebagai kesialan atau cacat.

Baca Juga  Makna Ihram: Hijrah dari “Manusia Topeng” ke “Manusia Sejati”

Di sisi lain, Al-Qur’an juga telah mengabarkan secara gamblang tentang manusia. Kadang kala manusia disebut Basyar atau Absyar  jamaknya Basyarah atau bisa dipahami sebagai makhluk biologis. Ini ditandai dengan melekatnya alat biologis yang dianugerahkan pada manusia, seperti halnya kaki, tangan, telinga dan seterusnya. Dengan begitu, penyandang disabilitas yang mengacu pada fisik merujuk pada kata Basyar. Kedua, Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan kata Insan yang bertumpu pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan kecenderungannya.

Manusia adalah makhluk pembelajar, yang dengan naluri dan daya nalarnya mendorong manusia keluar dari keterbatasan yang dimilikinya serta mendorongnya terus berkembang. Hal inilah yang menjadi core atau pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Selama manusia mampu mengembangkan dan menggunakan nalarnya dengan baik, maka keterbatasan biologis bukanlah hal yang berarti. Akan tetapi sebaliknya, manusia yang memiliki kesempurnaan alat biologis tapi tidak mampu mendayagunakan nalarnya dengan baik akan terjerembab pada lembah kehinaan cacat moral.

***

Ini tentu persoalan serius, sebab orang-orang seperti inilah yang ditandai Allah dalam Al-Qur’an dengan ancaman yang serius. Seperti halnya yang terdapat pada Qs. Al-Baqarah ayat 18, Al-A’raf ayat 179, dan Al-Hajj ayat 46.

Selain Basyar dan Insan, juga terdapat kata An-Nas dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, sehingga dalam persoalan sosial baik itu mereka yang alat biologisnya normal maupun terbatas tidak ada perbedaan dalam keduanya.

Penjelasan A-Qur’an tersebut sangat jelas, bahwa manusia memiliki kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, sehingga penggunaan kata disabilitas lebih tepat disandingkan pada keterbatasan fisik atau alat biologis, sedangkan cacat digunakan pada hal-hal non biologis atau moral. Dengan begitu sangat salah kaprah jika menilai orang dari kesempurnaan fisiknya, sebab kemampuan dan kapasitas tidak bisa dinilai dari bentuk fisiknya.

Baca Juga  Buya Hamka, Berdakwah dengan Sejuk dan Damai

Sikap Al-Qur’an Terhadap Penyandang Disabilitas

Kehadiran Al-Qur’an merupakan bentuk kritik terhadap fenomena-fenomena sosial yang menjamur sekaligus petunjuk untuk manusia. Maka tak ayal jika Al-Qur’an semakin dikaji akan semakin tersingkap kebenaran-kebenaran ada di dalamnya. Begitu halnya dengan persoalan difabel, acapkali Allah menggambarkan metafor difabel sebagai figuratif untuk orang-orang yang dimurkai.

Tentu bukan tanpa sebab, yang demikian itu karena ulah dan perbuatan manusia sendiri, dan Allah menjadikannya percontohan agar manusia memahami rambu-rambu tersebut dan nantinya mereka yang memahami rambu-rambu itu diharapkan terbebas dari lubang yang sama. Misalnya, larangan mengonsumsi khamr atau obat-obatan terlarang, tidak menikah dengan kerabat dekat dan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat membahayakan diri sendiri (Qs. Al-Baqarah ayat 168 dan 219).

Selain itu, dalam Al-Qur’an juga menjelaskan tentang kesamaan kedudukan manusia dan memberikan rukhsah atau hak khusus sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadap hambanya yang berkemampuan khusus (Qs. Al-Hujurat ayat 13 Ali-Imran ayat 191). Inilah yang menjadi kritik sebab dua hal ini yang entah disengaja atau tidak, seringkali diabaikan oleh manusia kebanyakan. Lebih memilih berteman dengan yang normal dan memandang mereka rendah karena fisiknya, acuh tak acuh bahkan menganggap mereka tak pernah ada dalam kehidupan dengan menggeneralisasi fasilitas umum yang kurang ramah terhadap mereka yang berkemampuan khusus. Wallahu a’lam bishawab.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
Kader PK IMM Hajjah Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *